Malam Minggu Kawah Ijen (Sebuah Perjalanan Singkat dari Pulau Bali menuju Puncak Kawah Ijen untuk ke 4 kalinya)
Dipelabuhan aku kembali termenung. Tampak awan hujan
sudah mulai menguasai bagian paling timur di tanah Jawa itu. Sedikit keluar
jalur, aku banyak berkhayal sewaktu kecil ketika disodorkan peta pulau jawa
oleh salah satu kerabatku. Salah satu momen mengapa aku sangat penasaran dengan
berbagai tempat di dunia. Aku yang waktu itu kecil dan sering sakit – sakitan
karena ketidak laziman proses kelahiranku itu merasa sudah tau tentang luasnya
dunia dengan secarik peta tentang pulau jawa. Berpetualang di dalam imajinasi
seorang bocah yang bahkan menangis apabila kalah bermain layang – layang. 18
Tahun kemudian lihatlah aku, yang mulai merindukan masa itu. Ombak di selat
bali ini tidaklah terlalu besar, namun air hujan mulai menetes dan memaksaku
untuk masuk ke dalam kapal. Melihat gelombang yang semakin besar semakin dekat.
Seiring besarnya gelombang, pandangan di yang aku lihat dari kaca kapal pun
mulai memburam tertutup oleh butiran air. Suasana yang mirip dengan sebuah
kenangan bukan. Semakin dewasa akan membawamu ke pada lautan dengan ombak yang
makin besar. Satu demi satu kaca itu akan semakin buram.
Satu hal yang unik dari penyeberangan dari Ketapang – Gilimanuk atau sebaliknya adalah dimana kita bisa memilih kapal yang digunakan. Kapal bagian tengah dermaga lebih bagus namun lebih cocok apabila tidak membawa kendaraan karena masa berlabuh yang relatif lebih lama dan apabila pada kondisi yang kurang menguntungkan, maka kita dipaksa menunggu hingga satu jam lebih untuk kapal berlabuh karena harus mengantri untuk bersandar. Beda lagi dengan kapal bagian samping yang merupakan tipe kapal tongkang sehingga ujung kapal dihempaskan langsung ke bibir pantai yang telah diberi perkuatan dan bantalan pada bagian bawahnya. Aku memilih kapal jenis ini karena tidak ada waktu tunggu dalam berlabuh.
Penyebrangan Gilimanuk - Ketapang |
Di dek bagian bawah kami sudah menunggu dengan
mengenakan mantel karena diluar sudah mulai deras. Kapal bergoyang dengan cukup
keras karena ombak ketika hujan dan angin seperti ini sedikit lebih tinggi dari
biasanya. Box di belakang motorku memberikan beban tambahan sehingga ketika ada
gelombang yang menghantam kapal dari arah samping, salah satu kakiku harus
sudah bersiaga mempertahankan momen berat motorku + beban yang aku bawa. Ketika
kapal secara perlahan sampai di bagian pantai dan pintu telah menyentuh
daratan, semua kendaraan segera dipacu untuk segera keluar dari pelabuhan.
Tidak perlu terlalu antri untuk turun apabila memilih kapal dengan jenis ini.
Selanjutnya aku dan pak Sukaji terpisah, rumahnya memang tidak terlalu jauh
dari pelabuhan. Sedikit ditepi pantai dengan pabrik semen sebagai acuan untuk
rumahnya. Mungkin nanti ketika lebaran aku akan menghampirinya. Kali ini
perjalananku masih cukup jauh.
"Chapter I - Paltuding dengan Semua Nostalgia yang Dibawanya"
Jalur menuju pos paltuding sebenarnya bisa diakses
dari beberapa pertigaan yang ada di sepanjang jalan menuju kota Banyuwangi jika
anda memulai perjalanan dari arah pelabuhan atau mungkin Taman Nasional Baluran
jika ini akan menjadi trip panjang menikmati ujung timur pulau Jawa. Lebih baik
aku jelaskan sedikit tentang pos Paltuding ini karena ini adalah kali ke 3 aku
mendaki gunung Ijen. Jadi pos paltuding ini merupakan pos bagi penambang
Belerang untuk mengumpulkan belerangnya. Yah karena gunung ijen merupakan
gunung yang menjadi tempat atau lokasi untuk penambangan belerang dan masih
dilakukan secara konvensional dengan pemasangan pipa yang selanjutnya terjadi
proses kondensasi dari belerang gas menjadi cair dan selanjutnya mendingin dan
menjadi padat. Selain menjadi lokasi untuk pengumpulan belerang, pos Paltuding
juga menjadi pos resmi awal pendakian untuk mereka yang ingin menikmati
pendakian sejenak gunung Ijen.
Pemandangan Berkabut Pos Paltuding |
Berhenti sejenak di Minimart untuk membeli beberapa hal lain kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke atas. GPS ku masih menyala di motorku dan aku ditemani hujan yang cukup deras sembari memacu motorku naik meter demi meter elevasi menuju pos paltuding. Tidak terlalu ramai walaupun ini malam minggu sebenarnya, yah mungkin karena cuacanya yang sedang hujan, kebanyakan pendaki lokal juga memilih perjalanan malam hari sehingga mereka tidak perlu sampai membuka tenda. Berbeda dengan tujuanku yang sedari awal memang ingin berkemah setelah lama tidak menikmati suasana dingin pegunungan. Aku hanya rindu rasanya menghirup udara dingin segar khas pegunungan. Semakin naik elevasi udara dingin semakin menusuk secara perlahan dan pasti. Sebagian besar tubuhku memang terbalut mantel dan perlengkapan lain berada di dalam box motor sehingga aku tak perlu takut pada barang – barang yang mungkin basah. Nyatanya berkendara dengan menggunakan sendal menuju elevasi 2000 an mdpl cukup menusuk rasa dinginnya. Dari ketinggian 0 mdpl aku tidak memberikan kesempatan pada tubuhku untuk beradaptasi dengan hawa dinginnya.
Kopi Tanah Vulkanik Ijen |
Api Unggun Bersama para Ranger |
Sial sekali, tak terasa sudah hampir 1 jam aku berada
di pos ini. Mereka ramah menyambutku dan menjelaskan banyak tentang gunung ini
serta beberapa mitos sepanjang perjalanan aku menuju pos paltuding. Mungkin
sudah sekitar pukul 16.30 WIB kemudian aku mulai menyalakan motor melanjutkan
perjalanan. Hujan sudah tidak mengguyur tempat ini lagi namun aku sudah terlalu
malas melepas jas hujan dan lain sebagainya. Matahari sudah mulai sayup dan
udara dingin semakin mencekam. Uniknya suasana ini benar – benar membuat hatiku
tenang. Beberapa orang akan merasa ketakutan di tengah hutan sendirian, lampu
kuning motorku sudah sedikit rusak karena reflektornya yang pecah sehingga aku
harus cukup puas dengan cahaya redup yang membelah areal gelap dimana matahari
sudah terlalu lemah untuk menyinarinya. Bukan hanya itu, jalanan pun semakin
sempit dan bahkan di beberapa tempat aku harus mengatur kecepatan dan gigi
motorku karena tanjakan yang aku lalui semakin terjal. Terakhir kali aku
melewati jalan ini ketika aku sedang liburan dengan teman kuliahku beberapa
tahun yang lalu. Saat itu aku masih sering menikmati hawa dingin kota malang
dan batu. Beberapa dari temanku bahkan tak lagi aku tau bagaimana kabarnya, di
proyek mana. Semakin aku dewasa, lingkaranku semakin besar namun tak lagi
banyak di dalamnya.
Pilihanku adalah lokasi petak paling ujung di bawah sebuah pohon besar dimana pada bagian belakangnya merupakan pohon cemara yang masih bertumbuh dan tidak terlalu tinggi. Ini merupakan insting dimana menganalisa arah angin, menempatkan tenda membelakangi angin dan bahkan memilih posisi strategis dimana kita bisa kabur dengan mudah ketika terjadi sesuatu merupakan hal dasar yang harus dikuasai dalam memilih lokasi tenda. Aku bisa merasakan pada lokasi itulah aku bisa tenang, tidak terganggu orang yang akan pergi ke toilet umum maupun berbincang keras di jalan utama. Belum ada tenda lain ketika aku datang sehingga aku bebas memilih dimanapun lokasi yang aku inginkan. Lelaki bertubuh kekar itu kembali setelah membantuku berkemas, kami akan bertemu lagi sekitar jam 19.00 WIB di sebuah warung di seberang jalan utama. Satu poin yang berubah dimana dulu kedua kali aku kesini warung dan pondok makan sangat berserakan dengan liar. Namun sekarang sudah diberikan lahan tersendiri dan sudah tertata rapi.
Pemandangan di Depan Tenda Pos Paltuding
Tidak susah untukku mendirikan tenda berisi 2 yang
sudah menemaniku kemanapun aku pergi. Tenda tua dengan 2 warnanya yang khas. 1
lapis saja dan tanpa cover karena terbakar ketika aku mengunjungi gunung slamet
di jawa tengah pada petualangan sebelumnya. model lama, tua, jadul, namun penuh
cerita. Mungkin sekitar 10 tahun sudah tenda ini menemaniku. Banyak bagian stik
yang sudah retak namun aku pertahankan dengan selotip bening agar retakannya
tidak semakin besar. Aku bahkan ingat bagian – bagiannya yang berlubang dengan
setiap ceritanya. Aku tau suatu saat aku harus berpisah dengna tenda ini, namun
untuk beberapa waktu ini dibantu dengan flaysheet sebagai cover tendaku sepertinya
cukup nyaman di dalam sini.
Pembahasan berlanjut dan bahkan kami menambah porsi
kopi kami. Malam semakin larut namun berada di dekat api unggun dengan kopi dan
pembahasan yang cukup panas sepertinya menghangatkan diriku baik luar dan
dalam. Salah seorang dari para pria ini bercerita bagaimana dia pernah bekerja
sebagai penambang garam di gunung. Satu lagi bercerita bagaimana dia pernah
melihat harimau jawa di pegunungan Yang walaupun secara resmi menurut berbagai
sumber Harimau Jawa telah punah. Mereka semua bekerja di bidang pariwisata yang
sedang tercekik sekarat. Namun sepertinya mereka sudah melilit menjadi satu
dengan canda tawa. Menghadapi semuanya selayaknya pria, masing – masing memilki
cara untuk keluar dari masalah. Sisi keren lelaki kekar paruh baya di sebuah pos
pendakian.
Aku melihat jam dan sudah pukul 22.00 WIB. Rasa lelah karena perjalanan panjang hari ini memaksaku untuk undur diri dari percakapan penuh semangat ini. Otakku masih sanggup terus berfikir namun kali ini aku harus menyimpan untuk persiapan pendakian malam ini. Tentu saja aku yang sudah lama tidak olahraga dan tidak melakukan aktivitas yang terlalu berat harus selalu menjaga stabilitas tenagaku. Rasanya rindu juga tidur beralaskan matras tipis perak di dalam tenda yang dari lubangnya aku bahkan bisa melihat bintang. Aku berpamitan menyalami mereka satu persatu, membayar kepada ibu pemilik warung yang bahkan memberikanku diskon air minum. Sungguh, aku batinku dibuat sengsara melihat kebaikan masing – masing orang ini. Berjalan menuju tenda melewati jalan setapak di bawah bintang sangat menakjubkan. Awan mendung tadi sudah beranjak pergi dan semakin malam langit semakin memukau. Sudah banyak pendaki lain yang datang dan disekitar tendaku sudah tampak banyak tenda lain. Sebagian sudah tidur dan bahkan ada yang terdengar dengkurannya. Aku berjalan masih dengan semangat seolah ada bara api yang masih terbakar di hatiku. Malam yang indah.
Aku masuk ke dalam sleeping bag menjaga kehangatan agar tetap tidak keluar terlalu banyak sehingga tubuhku tidak akan kelelahan ketika bangun nanti. Alhasil benar – benar nyenyak tidurku malam itu. Suara musik pelan dan samar menemaniku dan menjadi pengantar tidur yang sangat menenangkan. Seluruh ketegangan, kekhawatiran, ambisi, cita – cita, pandangan orang lain, dan lain sebagainya yang setiap hari menjadi bayangan untuk berjuang aku buang semua. Lucunya, aku merasa ketika aku membuang semua itu hanya bisa dilakukan disini dan lucunya itulah momen dimana aku merasa bahwa aku benar – benar menjadi aku. Seorang anak kecil yang melihat peta di tangannya dan berharap bisa menjelajahi setiap sudutnya.
Terbukalah mataku ketika aku mendengar sayup alarm
yang aku pasang disertai banyaknya langkah kaki yang terdengar. Pendakian
menuju puncak ijen memang dilakukan pada malam hari karena momen blue fire yang
langka tersebut cukup jelas terlihat pada saat malam. Selain itu untuk belerang
yang mengarah ke pendakian tidak terlalu tinggi. Serangkaian perjalanan
pendakian gunung ijen kita disajikan lawan tanding antara daya tahan tubuh dan
sulfur. Terlalu banyak menghirup sulfur tentu saja akan berakibat sangat buruk
pada pernafasan kita. Intensitas tersebut dikurangi memang dengan memakai
masker gas sebagaimana disediakan oleh orang – orang di paltuding dan kita bisa
menyewanya dengan harga yang sangat terjangkau.
Lampu Kota dari Jalur Pendakian Menuju Puncak Kawah Ijen
Singkatnya aku segera bergegas untuk menyiapkan diri
segera bergabung dengan rombongan pendaki lain untuk segera menuju puncak.
Ternyata sangat banyak orang – orang yang juga sedang melakukan pendakian. Yah
ketika aku bangun memang seluruh lokasi tenda tampak sudah terisi penuh, banyak
mobil juga yang terparkir di sekitar toilet umum yang sepertinya dijadikan juga
oleh mereka sebagai tempat menginap. Ada satu keluarga kecil dengan anaknya,
ada yang membawa gitar, ada yang bahkan naik membawa helm motornya karena takut
hilang mungkin. Sangat random orang – orang yang mendaki gunung seperti ini.
Bahkan aku melihat seorang wanita dengan jaket tebal yang sepertinya masih
berlapis kesulitan berjalan, tampak mirip seorang wanita yang memakai baju
astronot sedang mendaki gunung. Aku sendiri hanya memakai sepatu lari, celana
pendek lari, dan kaos. Di tasku ada jaket hujan yang cukup tebal sebenarnya dan
bisa dialih fungsikan sebagai jaket.
Berkemahnya aku anggap sebagai sarana untuk refleksi diri dan terkadang sebagai sarana untuk menekan emosi atau bahkan ketika aku suntuk. Refreshing diriku untuk kembali menjadi diriku yang berfikir secara logis. Aku bukan lelaki yang suka berfikir dengan membawa perasaan, namun ada kalanya ketika seluruh dunia berada di pundakmu dan mulai menekanmu dengan keras. Aku juga manusia dan saat itulah suasanya itu aku gunakan sebagai proses dalam menenangkan hati dan pikiranku. Perjalanannya sendiri aku anggap sebagai olahraga. Karena itu aku bersemangat dalam perjalanannya sebagai uji fisik untukku pribadi. Mengalahkan setiap treknya adalah mengalahkanku, dan menikmati setiap rasa lelahnya adalah menikmati aku. Headset bluetooth menancap di telingaku dengan musik ala ala twenty one pilots sedikit rap dan musik beat membuat kakiku berderap lebih kencang walaupun rasa sakit masih kental terasa di lutut kiriku.
Hari semakin malam dan aku mendaki semakin lambat karena mulai lelah. Aku terkadang harus berhenti beberapa kali untuk memberikan jalan pada beberapa orang di belakangku atau harus ke pinggir karena ada beberapa rombongan yang berjajar hingga 4 – 5 orang sehingga menutupi seluruh badan jalan. Jalur pendakian gunung ijen sendiri sudah lebar ketika aku pertama kali kesini beberapa tahun yang lalu, namun demikian semakin tahun semakin bertambah menjadi lebih baik. Kali ini dilengkapi dengan toilet umum di beberapa titik di pinggir jalan. Kemudian ada pula beberapa gazebo di pinggir jalan untuk pada pendaki istirahat. Berbeda dengan pendakian pertamaku dulu kesini yang mengharuskanku berhenti di pinggir jalan. Kemudian jalan pendakian sudah dilakukan pemadatan untuk material agregat kasar dan halusnya walaupun belum dirigid. Hehehe maklum anak teknik sipil seperti aku sedikit tahu tentang jalan walaupun tidak dikerjakan dengan sangat baik, namun mengingat lokasinya yang cukup susah, aku rasa sudah menjadi sebuah apresiasi untuk pemerintah dan warganya.
Sampailah pada pos pondok terakhir. Kali ini tidak banyak yang berubah dari sebuah pondok yang menjadi penanda bahwa jalur pendakian yang lebar sudah selesai. Kemudian dilanjutkan dengan jalur pendakian yang lebih terjal dan lebih sempit. Namun di beberapa tempat terdapat spot datarnya. Di belakang pondok ini sudah terlihat jelas bagaimana terjalnya. Namun ada sedikit hal yang berubah yaitu pagar kayu dan belokan terjal yang sepertinya dibuat setelah ada longsor. Masih ada bekas sliding yang terlihat di tebing, timbunan longsor tersebut sepertinya menimbun jalur pendakian yang lama sehingga pengelola harus membuat jalan baru yang lebih terjal dari sebelumnya, dengan mengedepankan safety, tentunya pagar ini akan sangat membantu untuk orang – orang berpegangan dan menambah kekuatan dalam menanjak. Termasuk aku hahahaha. Pada titik ini aku sangat ingat aku sangat kelelahan, dari bawah tidak ada berhenti dan setelah cukup lama aku tidak olahraga tentunya hal tersebut akan sangat membebani tubuhku. Tenagaku rasanya sudah terkuras dan itu hal yang buruk ketika nanti kita harus berhadapan dengan sulfur dimana mengurangi asupan oksigen tubuh kita. Di sebuah celah kecil setelah tanjakan ini akupun berhenti sejenak.
Terlihat bintang – bintang sangat indah. Ada beberapa pegunungan terlihat dan dari titik ini berdasarkan informasi ingatan yang ada di otakku aku tau betul di depanku adalah gunung raung. Semua kenangan pendakian gunung raung mengalir deras di kepalaku. Aku tak begitu ingat namun aku tau betul aku tersenyum karena ingatanku. Beberapa dari mereka aku tidak tau kabarnya bagaimana. Mas muchimin sudah punya anak, mbak favia jadi model, mas dhani baru saja menikah. Mereka punya jalan masing – masing. Aku tersenyum ketika mengingat bahwa itu adalah pendakian terakhirku bersama mereka. Mungkin waktu berlalu cepat dan sangat cepat ketika aku harus menghitung struktur, menghitung aliran air, merekap data hujan dan lain sebagainya. Flashback pada ingatanku ketika masa SMA dimana aku hanya berpenghasilan Rp. 2000,00 rupiah dari orang tuaku dan masing – masing Rp. 1000,00 rupiah digunakan sebagai transport pulang pergi ke sekolah. Ah waktu. Udara dingin semakin menusuk apalagi aku berkeringat sangat banyak namun sangat menyegarkan, aku tau udara tipis membuat kita berfikir sedikit tidak logis dan berasa di alam mimpi, pikiran logisku berfikir sedemikian. Namun perasaanku berkata biarlah, sedikit lagi. Aku akan kembali ke dunia nyata.
Lampu Pendaki dengan Background Gunung Raung
Untuk ke tiga kalinya aku sampai pada puncaknya.
Kawah menjulang besar di depanku yang kini sudah dipagar rapi tidak seperti
ketika dulu kali pertama dimana hanya ada tulisan jangan terlalu dekat dengan
bibir kawah. Hari masih sangat gelap dan kabut cukup tebal disini sepertinya
cuaca tidak begitu bersahabat seperti sebelumnya. selain itu masalah utama
dalam pendakian kali ini sudah mlai muncul yaitu sulfur. Gas yang berbau
menyengat ini keluar dari lokasi penambangan yang berada di dasar kawah didekat
danau asam pada kalderanya. Keluar secara konstan namun arahnya 100%
dipengaruhi oleh arah angin. Entah pada malam ini sepertinya angin mengarah ke
jalur pendakian yang menyebabkan sebelum sampai di puncak pun sudah memaksaku
menggunakan masker dan lebih parah ketika berada di puncak.
Sesekali aku berpapasan dengan penambang belerang yang sedang membawa 2 keranjang penuh dengan belerang padat hasil kondensasi yang terjadi di bawah. Sungguh luar biasa dan mencoba membayangkan berkali – kali pun aku merasa tidak akan sanggup melakukan apa yang mereka lakukan disini. Aku cukup sering melihat penggunaan belerang ini sebagai alat uji tekan beton karena aku berkecimpung di dunia konstruksi. Belerang digunakan sebagai bantalan dalam uji tekan karena bisa memadat dan pecah ketika nanti dibuka. Namun lebih jauh sebenarnya ini ada pada hampir semua kegiatan sehari hari kita. Lipstik dan beberapa perlengkapan kosmetik misalnya. Jika kita membayangkan satu lipstik yang mewarnai bibir para wanita sehingga terlihat lebih menawan itu merupakan hasil keringat orang – orang ini. Membawanya dari dasar kaldera yang memiliki tingkat resiko sangat tinggi tentu saja sebuah hal yang sangat tidak pernah terfikirkan. Bahwa bibir merah itu memang penuh resiko dalam prosesnya.
Kemudian sampailah aku di persimpangan untuk menuju puncak sejati dari gunung ijen atau turun ke kaldera untuk melihat blue fire. Tentu saja jadwal pertama adalah turun ke bawah ke dalam kaldera dan ke tepi danau untuk melihat secara langsung kaldera itu. Kabut yang ada menghalangi pandanganku sehingga pada malam itu kira kira jarak pandangku hanya tersisa 10 m. headlampku masih bisa menembusnya dan banyak pula orang yang sedang mendaki gunung dan berjalan bersamaku. Tampak pula beberapa orang lokal maupun dari mancanegara yang sedang berjalan. Mengingat ini terasa sebagai saat – saat terakhir sebelum PSBB diberlakukan di berbagai daerah di Indonesia karena pandemi Covid 19 tentunya cukup menyenangkan saat itu.
Turunan terjal itu masih tampak sama dari beberapa tahun yang lalu. Aku masih harus berhenti sejenak untuk memberikan kesempatan pada penambang belerang yang sedang menuju ke atas karena jalan sangat sempit. Sesekali aku harus berhenti sembari menarik nafas ketika ada pendaki lain sedang beristirahat di depanku. Tentu saja di gunung dengan tingkat kesulitan seperti gunung ijen ini sudah sangat lazim bertemu dengan banyak orang yang tidak biasa melakukan kegiatan berat seperti hiking. Namun demikian kita harus selalu bersabar dan menghargai setiap orang yang ada bukan. Itulah inti menjadi seorang manusia. Aku selalu mencoba dan terus mencoba untuk tidak terlalu larut dalam kebahagiaanku sendiri dimana seringkali membuatku lupa diri dan mulai tidak menghargai orang lain disekitarku. Saat itulah aku tau aku sedang sangat terpuruk.
Berjalan di belakang rombongan guide yang berisikan 3 orang yang sepertinya berasal dari wilayah eropa dan 2 wanita yang berasal dari korea selatan membuatku menemukan sebuah tempat baru dimana aku baru kali ini datang ke tempat tersebut. oke aku sebenarnya hanya mengikuti saja sambil tetap mendengarkan musik dari headsetku jadi aku tidak benar – benar mengikuti rombongan mereka, namun ketika mereka berbelok ke arah yang berbeda dari rombongan biasanya aku merasa penasaran dan mulai mengikuti mereka. Jalanan ini langsung ke kiri dari jalur utama dan melalui bebatuan yang lebih terjal. Namun tampak ada beberapa penambang belerang yang berada di depanku. Di tengah samar asap belerang yang mengepul terbawa angin tersebut akhirnya aku sadar bahwa tempat itu adalah salah satu tambang namun tidak semua pendaki dan pengunjung kesini. Sehingga lokasinya yang sedikit lebih susah daripada lokasi lain membuatnya sedikit terisolasi sehingga tidak banyak pengunjung melalui ini.
Sesekali angin berhembus keras dan terkadang berputar
disekitar kami sehingga membuat asap belerang tersebut mengepul. Asap tersebut
membuat kami semua kesusahan bernafas dan bahkan beberapa kali aku mengeluarkan
air mata dan ingus. Menjaga masker ini tetap bersih aku memang menambahkan tisu
ke dalamnya namun seperti gas saat kericuhan terjadi diantara demonstran ini
benar – benar cukup menyakitkan. Tampak salah seorang dari rombongan guide dari
korea selatan itu mulai panik dan mengajak untuk beranjak namun guide tersebut
menenangkannya. Ketika asap mulai terbang ke arah lain aku melihat pemandangan
yang benar – benar luarbiasa. Salah seorang penambang yang sama sekali tidak
bergeming dengan kondisi tersebut dan bahkan terus memukul belerang yang telah
keras itu. Mengumpulkannya pada keranjang di samping kaki kirinya. Tanpa
bergeming dan beranjak sedikitpun hanya dengan satu lapis masker dari kain yang
tampak sudah sangat usang. Entah sudah berapa tahun berapa hari berapa jam
berapa menit berapa detik waktu yang sudah dihabiskannya disini selama masa
hidupnya. Dia tidak bergeming ketika aku mengambil fotonya yang luar biasa.
Rombongan dari guide itu kemudian pergi namun aku masih duduk memandangi pipa yang mengeluarkan asap mengepul di depanku. Aku tau dari kondisinya yang sangat banyak mengeluarkan asap dan dengan angin seperti ini, hal ini sangat mirip dengan kali pertama aku kesini sehingga kami tidak bisa melihat dengan jelas blue fire yang ada. ketika asap pergi seperti langsung disambut dengan kabut tebal yang juga menghalangi setiap kamera mengambil momen indah yang langka. Namun begitulah aku mengamati dan membayangkan setiap proses kondensasi yang terjadi di dalam pipa itu sampai bapak penambang itu menghampiriku, memberitahukan ada sebuah belerang padat yang cukup unik karena dia menetes perlahan dan kemudian mengeras sehingga menjadi sebuah bentuk spiral yang unik. Dia memberikan padaku, seolah aku harus membalas dan hanya ada air di kantong celana pendekku. Dia meneguknya dengan cepat. Aku tak merasakannya namun seolah rasa lelah yang dia tanggung dan tahan selama itu tersampaikan. Di kegelapan yang hanya disinari sinar senterku ini aku melihat keringat seorang pejuang yang mempertaruhkan nyawanya di sebuah kaldera gunung berapi setiap malam.
Pekerja Tambang Belerang sedang Memecah Batu didalam Gas Sulfur |
Sebut saja aku gagal mengambil dokumentasi blue fire itu untuk kalian yang membaca dan menantikan bagaimana bentuknya. Memang sangat disayangkan namun begitulah perjalananku. Aku kemudian menghampiri bibir danau yang ada di kalderanya. Air yang asam itu ingin aku masukkan ke dalam botol sebelum salah seorang menghampiriku dan mengatakan jangan. Salah satu penambang itu memperingatkanku bahwa pada masa – masa ini ada aliran racun yang mematikan di dalam danau. Tidak pernah ada yang tau kapan tiba tiba gas beracun tersebut keluar dari dalam danau. Namun ketika itu benar – benar keluar, maka tamat riwayat kita. Ah tidak sepadan rasanya aku pun mengurungkan niatku dan segera beranjak naik. Tak lagi aku lihat rombongan guide itu hingga akhirnya aku sampai di bagian atas bersama dengan 3 orang yang ternyata berasal dari Kabupaten Jember. Akupun bergabung dengan mereka.
Sisa Pohon yang Telah Terbakar di Puncak Kawah Ijen |
Aku sudah masuk ke dalam semak – semak dan ternyata banyak orang yang lebih pintar sedang bersembunyi disini. Bersembunyi dari angin dingin yang menusuk tulang itu. Ah aku merasa diriku sendiri lucu menahannya sedari tadi. Kini awan dan kabut mulai menghilang terurai oleh panas matahari. Tidak lagi oranye namun sudah cukup hangat. Ada bentuk khas bayangan gunung di danau kaldera. Aku mengambil beberapa dokumentasi pemandangan yang menarik mataku. Lalu segera berbalik dan menghadap ke arah timur merasakan hangatnya matahari membelai pipiku secara perlahan. Dinginku sudah mulai menghilang dan memberikan rasa hangat yang luar biasa. Tampak di kejahuan waduk dari bendungan bajul mati memantulkan cahaya matahari pagi itu. Pulau bali sedikit tertutup kabut tipis namun mulai menampakkan wujudnya. Perasaan tenang yang karena kembali merasakan betapa kecilnya setiap masalahku daripada dunia ini. Terlalu kecil setiap masalah yang membuatku mengutuk dunia dibandingkan dunia itu sendiri. Aku duduk berteman roti dingin di sebuah kayu merasakan hangatnya matahari, pipiku memerah rasanya. Nyaman.
Semua pendaki gunung dan petualang akan merasakannya dan terus merasakannya bahwa setiap ingatan akan petualangan terasa seperti mimpi indah. Siapa yang ingin terbangun dari mimpi indah? Itulah yang mendorong kita para petualang sejati untuk terus berpetualang menjelajahi sudut dunia. Mengenal warna warni manusia. Kita petualang hidup sebentar di dunia mimpi itu. Namun pada akhirnya setiap orang harus terbangun dan kembali ke dunia nyata. Harus kembali bertarung dengan kehidupan nyata melawan ego dan manusia. Rasanya aku tak lagi menjadi aku, terlalu sibuk memikirkan orang lain, perasaan orang lain, uang, wanita, ambisi dan hal hal yang aku bahkan tak lagi tau mengapa aku mengejarnya. Ketika diingat kembali inilah yang mendorongku untuk terus menulis ceritaku bahkan ketika mereka mencoba membeli ruang kecil dalam bentuk blogspot yang sudah cukup lama ini. Ini ceritaku, dunia mimpiku, biarkan aku tetap menulis dan tentu saja aku tak mengharapkan picis untuk mimpi indahku sendiri.
Sembari menunggu hujan reda aku berendam di pemandian tersebut. rasanya seluruh pegal di bahu dan kaki perlahan terangkat. Aku bahkan sepertinya sempat tertidur disana. Rasa panasnya sungguh sangat panas dan nikmat. Perjalananku berakhir disini. Mungkin masih sekitar 40 km lagi menuju singaraja namun hanya tersisa perjalanan motor di hari yang mulai gelap dan itu akan menjadi cerita yang membosankan bukan. Sebenarnya kemarin aku mendapatkan masukan dari salah seorang pembaca tetap blogku dimana dia merekomendasikan untuk menambah estimasi perjalanan. Mungkin di petualanganku selanjutnya akan aku catat dengan rinci sehingga bisa jadi acuan dalam melakukan perjalanan untuk kalian semua. Tetap jaga kesehatan pada masa new normal ini, tetap semangat. Terima kasih.
-THE END-
"aku tak bisa mengomentari hidup orang lain. hidupku sendiripun sangat rumit. sangat singkat dan bahkan baru seperti kemarin aku masih belajar matematika dan sekarang penyesalanku datang. aku berusaha mempertahankan kejujuranku setidaknya hal itu yang menjauhkanku dari kegagalan" Ucap Salah Satu Bapak Bapak di depan api unggun memberikanku inspirasi.
Komentar
Posting Komentar