Pendakian Argopuro Part 4 (Danau Taman Hidup)
Selasa, 16 April 2013
Pagi itu aku bangun dari tidurku yang sangat nyenyak. Lebih nyenyak
dari tidurku yang sebelum – sebelumnya. Entah karena terlalu capek atau karena
posisi yang lebih nyaman, yang penting aku bangun dengan kondisi yang sangat
fit. Kami langsung bersiap – siap memasak dan menyiapkan waktu pagi kami.
Seperti biasa kami harus bergegas agar tidak terlalu malam sampai di taman
hidup. Pos pemberhentian kami selanjutnya. Kali ini Mas Dodi membuat sebuah
permainan. Dia akan memasang pita – pitanya lagi untuk tanda jalan dan kami
harus menghitung berapa banyak pita yang dia pasang.
Sekitar pukul 9
pagi kami berangkat meninggalkan pos Cisentor yang indah. Sesekali memangang
kearah pos yang masih kokoh itu. Kami bergerak sedikit lebih cepat sekarang.
Karena kami harus mengejar waktu. Akhirnya kembali lagi aku, bimo, saprul,
suryo dan dwi menjadi satu tim lagi. Kami bergerak sambil menghitung banyaknya
pita yang dipasang oleh mas dodi. Akhirnya kami semua langsung bergegas
menembus hutan – hutan. Kali ini ranjau gatal semakin banyak. Aku dan Bimo yang
mengenakkan sandal gunung harus ekstra hati – hati agar tidak terkena ranjau –
ranjau ini.
Tanjakan demi
tanjakan kami lewati, kami juga melewati beberapa lembah yang cukup indah.
Beberapa kali juga aku dan Bimo menyempatkan diri untuk berfoto di lembah –
lembah itu. Akhirnya kami sampai padasebuah turunan curam. Disana ada mas Dodi
yang telah sedari tadi menunggu kami disana. Duduk di bawah pohon sambil
menikmati lagu dari led zeppelin. Kami sampai di sebuah pos yang dinamakan
eingkeni. Pos ini hamper sama dengan Cisentor, hanya saja letak sungainya
sedikit lebih dekat dan disebelah atas terdapat air terjun kecil yang ikut
menghiasi tempat ini.
Tak beberpa lama
dating mas gombel yang datang dengan wajah sedikit gusar. Ternyata tangannya
terkena ranjau. Bisa dilihat tangannya yang mulai bentol – bentol terkena racun
tumbuhan ini. Mas dodi menganjurkan untuk tidak diagaruk, tetapi didiamkan saja
agar tidak menjadi lebih parah. Dengan gurauannya dan tawanya yang khas dari
mas gembel membuat suasana tak jenuh lagi.
Saat itu waktu
sudah menunjukkan sekitar pukul 12.30 WIB. Kami pun memutuskan untuk makan
siang di tempat itu. Aku dan Bimo memutuskan untuk membuat sereal yang menjadi
makanan kami setiap makan siang. Beberapa anak Jakarta lainnya memutuskan untuk
membuat mie bihun sebagai menu makan siang mereka. Dengan menikmati musik dari
musik player milik mas Dodi, kami menikmati sekali makan siang itu. Kami juga
bercakap – cakap tentang pita yang selama perjalanan kami hitung. Tim kami
menghitung ada sekitar 24 pita, sedangkan tim mAs jimmy menghitung sekitar ada
25. Jadi kami sempat terselip satu pita. Mas Dodi menjelaskan bahwa pita – pita
itu bertujuan untuk melatih kita siaga dan jeli selama di alam liar.
Puas beristirahat
dan makan, kami melanjutkan perjalanan. Seperti biasa mas Dodi berada di paling
depan. Kemudian disusul Suryo dan Dwi yang mengejar mas Dodi. Kami harus
melalui sebuah sungai keicil yang ada jembatan yang terbuat dari sebuah kayu
tumbang. Kami harus berhati – hati agar tidak jatuh karena kayu yang licin.
Mungkin karena hujan yang mengguyur semalam. Sialnya juga ada ranjau yang
menjuntai dari pinggir sungai kecil ini. Karena menyilitkan, aku membiarkan
Suryo dan Dwi jalan duluan di depan. Aku mengambilkayu dan mematahkan daun
gatal – gatal itu. Tak berapa lama saprul dan teman – teman Jakarta serta Bimo
yang tadi di belakang datang. Aku ulurkan tanganku untuk membantu si saprul.
Setelah cukup seimbang dia bilang “udah” dan akupun melepaskan peganganku
padanya. Baru saja satu langkah, dia terpeleset jatuh dan sialnya dia jatuh ke
tempat tumbuhan gatal – gatal itu. Adegan yang lucu sebenarnya jika kalian bisa
membayangkan.. :D tapi karena kasihan akhirnya kami menolongnya.
Perjalanan kami
lanjutkan. Akhirnya aku dan Bimo memutuskan untuk berjalan lebih dahulu di depan meninggalkan saprul dan mas – mas
Jakarta lainya. Akhirnya kami dapat mengejar Dwi dan Suryo yang telah cukup
jauh di depan. Kami pun memutuskan untuk berjalan bersama. Beberapa kali kami
melewati bukit. Kata Dwi, dia pernah membaca sebuah situs bahwa yang sedang
kami lalui adalah 7 bukit penderitaan. Sialnya memang benar, kami harus melalui
7 bukit yang terus menerus bergantian. Akhirnya aku juga sempat terkena
tumbuhan gatal – gatal itu. Tapi aku biarkan saja.
Hingga kami berhenti pada sebuah
daerah yang kiri kanannya turunan seperti jurang. Disana ada mas Dody yang
sedang menunggu kami. Tak beberapa lama, Mas – mas Jakarta dan Saprul juga
datang menyusul kami. Mas Dodi menjelaskan kita sediit kemalaman sekarang, dan
kita harus bergerak jauh lebih cepat dari sebelumnya karena kita akan melewati
hutan basah sebelum sampai ke Taman Hidup.
Hutan basah merupakan vegetasi
hutan heterogen dan sangat rapat tumbuhannya. Hutan ini merupakan hutan tua
yang bahkan manusia jarang masuk ke dalamnya. Masih ada hewan – hewan liar
disini seperti harimau dan sejenisnya. Jadi mas Dodi ingin kita berjalan seaman
mungkin dan kalau bisa menghindari malam karena kalau berjalan pada malam hari
resikonya lebih tinggi. Akhirnya mas Dodi memutuskan untuk Mas Jimmy berada
paling depan. Disusul aku, Suryo dan Bimo. Kami bergerak cukup cepat, bahkan
mungkin sangat cepat dengan setengah lari.
Sampai kami akhirnya jauh
meninggalkan teman – teman yang lainnya. Kami bergerak cepat apalagi turunan
yang merupakan kesukaanku. Naik gunung untuk turun. Hahaha. Kami bergerak
begitu cepatnya sampai tak beberapa lama sudah masuk ke dalam hutan basah. Kami
sedikit mengurangi kecepatan disini dan kami menambah kewaspadaan kami. Memang
benar hutan ini sangatlah lebat. Bahkan waktu yang menunjukkan pukul 04.00
sudah seperti akan malam karena cahaya yang sulit menembus lebatnya hutan. Kami
bergerak dan sesekali berhenti walaupun tidak terlalu lama, hanya berhenti
untuk sekedar mengambil nafas saja.
Akhirnya kami mulai sesekali
melihat cahaya, kemudian disambut juga dengan sekilas kami melihat danau di
sebelah kiri kami. Menandakan kami sudah mulai dekat. Yang harus kami lakukan
hanyalah mencari sebuah pertigaan yang menuju kearah danau. Jalanan yang becek
dan berlumpur mulaimenambah masalah kami selanjutnya. Kami harus mulai berhati
– hati agar tidak terpeleset karena jalanan yang bertambah licin itu. Sampai
akhirnya kami sampai di sebuah pertigaan dan kami belok kea rah kiri. Mas Jimmy
menjelaskan kalau kita bergerak kea rah kanan, itu adalah jalan pulang.
Ternyata terdengar suara – suara
tawa. Kelihatannya kami tidak sedang sendirian di tempat itu. Saat kami datangi
ternyata bukan main banyaknya, mereka rombongan yang datang dari Kota Surabaya.
Remaja – remaja yang ikut menikmati indahnya alam argopuro. Bahkan ada ceweknya
juga. Memang pendaki cewek itu langka dan salut ketika mereka ada di gunung
tanpa menunjukkan kemanjaan mereka. (cewek idaman para pendaki). Setelah
menaruh carrier yang sedari tadi kami bawa, kami mencoba menuju danau taman
hidup. Disini cukup becek, danaunya juga sedikit pasang dari biasanya.
Danau Taman hidup lebih mirip
seperti rawa raksasa memang karena airnya yang tidak terlalu jernih dan dapat
diminum, apalagi dengan aroma lumpur yang pekat. Tetapi itu semua tidak
mengurangi kendahannya. Terdapat sebuah dermaga kecil yang sudah banyak
rusaknya entah karena apa. Pijakan kayunya sudah banyak yang patah bahkan sudah
banyak yang telah menghilang. Aku dan Bimo memutuskan untuk berfoto dulu di tempat
itu sambil menikmati indahnya sore. Akhirnya kami kembali ke camp yang agak
jauh dari biir danau taman hidup letaknya.
Disana ternyata sudah ada Mas
Gembel dan Mas Jawa yang sudah mengejar kami dan sampai di tempat ini. Mereka
langsung membangun dan memasang tenda mereka. Aku dan Bimo pun segera mencari
tempat yang nyaman untuk mencari tempat camp kami. Akhirnya kami memutuskan
untuk mendirikan tenda kami yang sedikit jauh memang dari tempat yang lain
tetapi tanahnya datar dan tidak becek seperti di beberapa bagian tempat di
daerah camp kami. Ditempat kami ditumbuhi rerumputan yang cukup lebat yang
menurut pendapatku akan membuat alas kami menjadi lebih empuk dan nyaman untuk
istirahat.
Selesai mendirikan tenda kami,
kami membantu Saprul, Suryo dan Dwi mendirikan tendanya disebelah tenda kami
berdua. Selesai itu kami membersihkan diri untuk segera beristirahat. Malam
yang indah sebenarnya untuk dinikmati. Malam terakhir du gunung Argopuro. Malam
itu cerah, bintang – bintang bersinar tanpa terhalang awan apapun. Walau
rembulan tak terlihat, tetapi sudah cukup indah malam itu. Kami berdua
menikmati dengan diiringi musik yang membelah heningnya malam di tendaku dan
Bimo. Saprul dan kawan – kawan yang lain sedang melakukan suatu evaluasi
penting. Karena kami yang bukan bagian daripada pecinta alam mereka, kami
memutuskan untuk tetap di Tenda kami. Malam itu kami tutup dengan sebuah nasi
goreng buatan Bimo yang walau sedikit aneh tetapi cukup enak juga.
Pohon – pohon melambai pelan
diatas kami, digelapnya malam ini. Seakan mengucapkan perpisahan di malam
terakhir ini. Ya, besok kami pulang. Mungkin rasa rinduku saat itu pada
seseorang yang kini tak bisa lagi aku rindukan yang paling kurasakan.
Kupejamkan mataku dan tersenyum,
berdoa…..
dia bahagia disana…..
Komentar
Posting Komentar