Raung "dont look behind when walking" Part 2
4 Februari 2017
Pagi itu mbak favia membangunkanku. Katanya sih, tapi sayang
seribu sayang aku sama sekali tidak merasakannya. Hehehe. Berdasarkan cerita
sih mbak favia sampai menendangku tapi apa daya karena lemahnya tendangan mbak
Favia, mungkin?. Aku sama sekali tidak merasakannya dan pagi itu aku menjadi
salah satu orang yang bangun kesiangan bersama dengan mas Dhani, mas Eko, dan
mas Raya. Seperti itulah pagi kita. Dilaksanakan dengan kata “aku siap” kami
bergantian mandi, mungkin menjadi mandi terakhir kami sebelum mulai melakukan
pendakian. Kemudian kami makan pecel yang dimasak oleh ibu Soeto dan mungkin
saja menjadi masakan rumah terakhir kami sebelum kami berangkat.
Dari basecamp menuju pos 1 cukup jauh, sehingga kami
memutuskan untuk menggunakan ojek dengan
harga 40 ribu. Setiap ojek menaruh tas carrier kami di bagian depan, kemudian
kami duduk di bagian belakang menikmati perjalanan offroad dan adu adrenalin
kami. Cukup percaya saja saranku, karena mereka melewati jalan kecil yang mungkin
sebenarnya jalan setapak dengan menggunakan motor semacam supra X dengan
jalanan lumpur di beberapa tempat sehingga pastinya licin. Jalanannya naik
turun, dengan melewati kebun kopi sehinga beberapa kali kami harus merunduk
untuk menghindari pukulan dahan pohon kopi yang menjulang di tengah jalan.
Sangat berat ketika sepertinya kerja motor di daerah ini, membawa beban yang
hampir setara dengan 3 orang (plus carrier) di depan melewati jalanan seperti
itu.
Istirahat itu menyegarkan :D |
Tertampar dua, tiga, empat dahan dan ranting pohon kopi
tetapi akhirnya aku sampai di pos 1 pendakian gunung raung. Pos ini merupakan
sebuah warung yang biasanya digunakan pendaki untuk singgah sejenak atau
sebagai tempat penjemputan ojek apabila ojek dipanggil untuk menjemput ketika
pulang. Oh iya, di gunung raung ini di beberapa spot masih ada sinyal sehingga
kita masih bisa berkomunikasi dengan dunia luar walau terkadang ketika awan
menutupi sinyal akan benar – benar hilang. Begitu pula saat kita ingin meminta
jemputan dari ojek, kita bisa langsung menelpon mereka dan mereka akan stand by
di pos 1. Cukup jauh memang dari pos 1 ke base camp, untuk naik motor sekitar
15 menit tapi apabila dilakukan dengan jalan kaki, membutuhkan waktu sekitar 2
jam.
Setelah kami semua sampai, kami segera melakukan pemanasan.
Tas benar – benar terasa sangat berat dengan membawa masing – masing 9 liter
air di tas kami. Ditambah peralatan dan lain – lain, akhirnya tas ku berada di
urutan ke 2 terberat setelah dikalahkan tas mas Dhani dengan membawa seluruh
peralatan climbing di tasnya. Kami mulai berjalan, yah tanjakan memang
spesialisku, entah karena stamina atau memang dari kecil sering menanjak ginian
akhirnya aku melesat cukup jauh mendahului teman – teman seperjuangan
pendakianku. Mbak favia juga berjalan dengan tenang, tapi selalu konstan.
Karena merasa terlalu jauh aku akhirnya menunggu sejenak.
Mungkin perjalanan yang aku ceritakan akan banyak sekali
kata jalan, jalan, berhenti, bernafas, jalan lagi. Menghindari kebosanan akan
cerita itu, aku jelaskan saja bagaimana medannya. Pos 1 ke pos 2 adalah pos
yang terjauh, kalau tidak salah sih. Kaki akan benar – benar dihajar dengan
tanjakan yang tidak ada habisnya. Menghadapi tanjakan dan membawa beratnya
beban tas carrier akan menjadi sebuah tantangan awal yang harus ditempuh para
pendaki pada awal start berjalan. Kita akan melewati kebun kopi yang lebat
namun lambat laun jalan akan semakin mengecil dan tanda – tanda kebun akan
mulai menghilang. Hingga akhirnya kita benar – benar masuk ke dalam hutan
gunung raung yang mendebarkan.
Pepohonannya besar – besar, sesekali kita harus berjalan
melompati pohon yang tumbang. Memang cuaca akhir – akhir ini tidak terlalu
bersahabat. Hujan dan badai menurut berita terus menerjang Indonesia bagian
barat dengan ganasnya. Kita sih sebagai pendaki dan penikmat alam hanya bisa
berdoa agar tuhan senantiasa memberikan
kita keselamatan selama perjalanan yang kita lakukan ini. Kami harus
berhenti cukup sering karena perjalanan yang berat ini dengan tanpa adanya
sumber air yang bisa kita temui selama perjalanan pendakian gunung raung ini.
Sesekali kita akan mendapati tanaman yang menjadi musuh para
pendaki. Rotan kecil dan tanaman merambat berduri yang lain menjadi selingan
sepanjang perjalanan. Tangan tergores, tas tergores, bilang aw aduh dan kata –
kata mutiara menjadi cemilan kami sepanjang perjalanan. Susah sekali memang
menghindari tanaman – tanaman ini dengan jalan yang sempit ini. Kami beruntung
kembang jancukan yang terkenal karena durinya yang membuat gatal sangat jarang
di gunung ini. Aku sempat menemui kembang ini namun tidak dalam posisi yang
berbahaya seperti pada pendakian gunung argopuro.
Percing, Royo, Cimin |
Setelah berjalan cukup lama, kami akhirnya terpisah menjadi
grup – grup kecil yang masing – masing terdiri dari 2 orang. Aku dan mas Raya berada
di paling depan, disusul oleh mas Cimin dan mbak Favia yang berada di grup no 2
dan di belakang sendiri ada mas Dhani dan mas Eko. Hingga akhirnya aku yang
pertama kali sampai di sebuah tempat yang cukup luas. Masih ada sisa – sisa
seseorang mendirikan tenda dengan ada pula bekas api unggun yang sudah lama
kering dan padam. Di beberapa titik juga ditemui botol yang dibelah untuk
menangkap air hujan. Botol – botol ini mungkin dimaksudkan apabila ada pendaki
yang kehabisan air bisa menggunakan air ini pada saat kondisi darurat, awalnya
ragu apakah tempat ini adalah pos 1 hingga akhirnya kami berdua menemukan
ukiran bertuliskan tanda 2 di sebuah batang pohon yang besar di area ini.
Tak lama kami beristirahat ditemani semilir angin yang
sejuk, grup ke 2 mbak favia dan mas Cimin sampai di pos 2 tersebut. Seperti
biasa mbak Favia masih memegang kameranya dan memfoto serta merekam sana sini
sesekali. Hingga akhirnya gelombang terakhir dari grup mas Dhani dan mas Eko
akhirnya datang. Kami segera istirahat sejenak sambil menghela nafas di pos 2
tersebut. Karena waktu yang sudah siang, kami memutuskan untuk memakan bekal
yang kami dapat dari ibu Soeto. Nasi bungkus yang terbungkus dengan padat
dengan lauk tempe kecil – kecil disertai dengan telur. Makanan mewah menurutku
apabila sedang berada di tengah hutan belantara seperti ini mengingat kami
memakannya tanpa harus memasaknya terlebih dahulu.
Untuk mengurangi beban, kami meninggalkan beberapa sampah
yang sudah kami produksi disini. Memasukkannya ke dalam kantong plastilk
kemudian menggantungkannya di pohon disertai dengan note atas nama kami. Ketika
nantinya kami pulang akan kami ambil kembali. Kemudian kami juga meninggalkan 2
botol air 1,5 liter untuk mengurangi beban tas kami sambil berjaga – jaga juga
apabila kami kehabisan air, maka kami masih memiliki air cadangan yang kami
simpan dan sembunyikan di pos ini.
Perjalanan berlanjut seperti sebelumnya dengan formasi yang
persis sama. Menuju pos 3 jalanan sempat menurun namun kembali menanjak hingga
akhirnya kami sampai di pos 3. Pos ini sedikit kecil daripada pos sebelumnya
namun masih layak untuk tempat mendirikan tenda. Untuk gambaran, rute yang
dilalui adalah melalui punggung bukit. Melalui punggung bukit sebenarnya
sedikit berbahaya karena jalanan sempit, namun umumnya lebih mudah karena
jalanan tak dihiasi dengan tanaman – tanaman berduri beracun seperti kembang
jancukan yang hidup dan tumbuh subur di bagian lembah.
langkah demi langkah yang berat |
Waktu semakin sore dan sore. Aku sudah sempat berhenti
berkali – kali karena jalanan yang sangat berat dengan beban yang berat pula.
Selepas kita melalui pos 2, jalanan benar – benar menanjak dengan signifikan
daripada sebelumnya. Memang sangat berat namun jalan inilah yang harus dilalui.
Bahkan beberapa tempat ada tanjakan yang disediakan webbing untuk berpegangan
dikarenakan longsor. Dengan membawa beban yang teramat sangat berat di punggung
dan melewati beban yang semacam ini, tanjakan ini benar – benar menguras
tenaga.
Hingga akhirnya kelompok kecil terpisah cukup jauh. Dan
bahkan akhirnya aku dan mas Raya yang tergabung dalam satu kelompok kecil
bahkan terpisah pada akhirnya karena mas Raya masih berhenti sedikit lebih
lama. Akhirnya aku berjalan sendirian hingga akhirnya aku mendengar suara
beberapa orang yang sedang bercakap – cakap. Beberapa orang sedang duduk
bercakap – cakap sambil beristirahat sepertinya. Aku pun menyapa mereka, 6
orang pendaki yang sedang perjalanan turun dari puncak dan beruntung mereka
sampai puncak dalam keadaan selamat dengan cuaca yang cerah. Sesuai dengan
cerahnya malam semalam, sepertinya mereka mendapatkan momen yang indah di
puncak. Mereka adalah kumpulan dari beberapa pendaki dari beberapa daerah yang
berbeda.
Tak beberapa lama, mas raya pun sampai di pos 4 pada
akhirnya. Aku duduk disana di sebuah pohon, mulai mencari tempat untuk
mendirikan tenda kami. Sebenarnya tempat pos 4 ini kurang strategis untuk
menjadi tempat mendirikan tenda karena angin bertiup dari sebelah kanan dan
kirinya. Maklum kami berada di punggung bukit. Hanya saja daerahnya memang
cukup lebar, cukup untuk sekitar 6 – 7 tenda. Hingga akhirnya kami mulai
mendirikan tenda kami ketika kelompok ke 2 yaitu mbak Favia dan mas Cimin
sampai di tempat itu.
Ketika mas Eko sedang memasak mas Dhani sedang |
Berusaha mendirikan flaysheet wkwkwk |
Kami mendirikan 2 tenda kami saling berhadapan yang kemudian
di tutupi dengan flaysheet yang membungkus ke dua tenda kami. Hal ini
dimaksudkan selain menambah kehangatan penduduk di dalam tenda, juga
memperkecil kemungkinan kebocoran tenda yang mungkin terjadi apabila sedang
terjadi hujan yang cukup deras, mengingat beberapa hari ini hujan memang sedikit
ekstrim ditambah dengan angin yang kencang. Untuk tenda – tenda akan sangat
rentan mengalami kebocoran. Hingga akhirnya sekitar pukul 18.00 barulah semua
tenda dan perlengkapan untuk kita bermalam sudah selesai. Kami segera masuk ke
dalam tenda sembari mempersiapkan makan malam kami.
Di luar serasa sangat dingin. Entah karena memang cuaca yang
sedikit berkabut dengan angin yang menghempas dari sisi kanan tenda. Namun
sesekali ketika kabut benar – benar mulai meninggalkan kami, kami bisa melihat
bintang – bintang bersinar diatas kami dengan indahnya. Sepertinya cuaca malam
ini cukup nyaman dan bersahabat. Sebagai pendaki gunung, cucaca seperti inilah
yang benar – benar dinantikan sehingga meninggalkan kasur yang empuk dan nyaman
di rumah tergantikan dengan pemandangan malam yang luar biasa di alam liar.
Tentu saja setelah kami menyantap kaki naga kami, semuanya kembali bersemangat.
Ngomong – ngomong kaki naga merupakan nugget yang kami bawa dengan kemasan dan
bentuk lucu wkwkwk.
Freedom Host Cimin |
Tak terasa ketika malam sudah semakin larut, kami kembali ke
posisi tenda kami masing – masing. Aku di tenda yang lebih kecil bersama mas
cimin sedangkan yang lainnya berada di tenda satunya. Udara cukup dingin di
luar, namun ketika masuk di dalam tenda dan berselimut sleeping bag, benar –
benar hangat. Ketika mata telah lelah ditambah dengan otot – otot yang semakin
melemas, aku mulai kehilangan kesadaran dan akhirnya pun tertidur. Bermimpi
tentang indahnya malam, dengan membayangkan puncak terakhir jawa timur yang
ingin segera kujejaki.
Komentar
Posting Komentar