Jejak di Tambora, Part III Pondok ke Pondok

Jejak di Tambora

 Seri Ikik Petualang Kantoran

Pendakian gunung Tambora dimulai dengan melewati kebun kopi yang sangat panjang hingga benar - benar batas hutan. jalan setapak tanah berubah menjadi jalan yang sedikit lebar namun masih di areal perkebunan kopi. selanjutnya di persimpangan akan memisahkan jalan tanah dengan jalan beton. jalan beton itulah jalur pendakian gunung Tambora via desa Pancasila. entah mungkin pemerintah sempat ingin meneruskan jalur tersebut untuk wisata atau bertujuan untuk operasi dan pemeliharaan pipa. karena sepanjang jalur akan terdengar suara air di dalam pipa. seperti suara flushing toilet duduk di dalam pipa. menandakan bahwa air yang masuk ke dalam pipa tersebut tidaklah konstan. 

Sepanjang jalan awal akan sangat membosankan, begitu pula yang dirasakan Ikik apalagi pendakian belum genap seminggu dibuka sehingga tidak akan terlalu ramai. mencoba adaptasi, Ikik berjalan dengan mengatur nafas panjang ketika berjalan sehingga ketika pada elevasi tanah yang lebih tinggi dan tekanan udara semakin tipis, tubuh setidaknya tidak akan kaget dengan perbedaan tekanan udara. Ketika mengambil nafas panjang, barulah dia sadar dan terkaget karena melihat apa yang dikenakan Fikri. spontan dia melepaskan nafas panjangnya. Posisi saat itu Fikri berada di depan, Ikik di tengah dan Bang Rei sedikit jauh beberapa meter namun berada di posisi belakang sehingga dari posisi Ikik bisa melihat jelas bahwa Fikri sedang mengenakan sandal. bukan sandal gunung, namun sandal karet biasa yang umum digunakan ke masjid tanpa kaos kaki dan tanpa apapun.

"Fik, serius kamu ndak pakai sepatu itu?" tanya ikik pada Fikri.

"Iya bang, udah biasa. belum punya juga sepatu gunung bang." jawab Fikri dengan polosnya.

"Oalah, okelah kalau sudah biasa." sedikit enggan Ikik melanjutkan pertanyaannya. 

Fikri terlihat seperti Ikik beberapa tahun yang lalu sebelum bekerja. satu - satunya uang yang dia miliki dari orang tuanya ketika masih seumuran Fikri digunakannya untuk membayar angkot menuju sekolahnya. sangat pas Rp.1000,00 tiap pergi dan Rp.1000,00 lainnya untuk pulang. kadang dia bisa sedikit beruntung karena ada teman yang berangkat naik motor dan dia bisa berhemat dari temannya tersebut. Namun seringkali dia harus berangkat sendiri. kemudian dia simpan setiap lembar uang seribu itu hingga akhirnya bisa membeli sandal gunung pertamanya. kala itu peralatan mendaki masih belum terlalu mahal seperti sekarang dan pendaki serta mendaki masih menjadi hal yang jarang dibicarakan.

Langkah Fikri tegas. tanpa keraguan dan dengan alas sandal karet yang notabenya bukan untuk perjalanan outdoor itu sepertinya bukan masalah untuknya. memudarkan keraguan Ikik pada Fikri tentang perjalanan ini. namun jalur pendakian gunung Tambora bukan sesuatu yang enteng, beberapa spot melalui celah kecil yang dihiari tumbuhan duri yang menjalar. tumbuhan menjalar ini sesekali akan menempel pada tas dan cover bag. lebih parahnya lagi jika dilepaskan secara paksa, cover bag akan sobek karena durinya. Walaupun memang dari mereka bertiga, hanya tas Ikik saja yang tertutup dengan cover bag.

'Kreeek' suara duri yang mulai mencabik - cabik cover bag Ikik. bahkan belum jauh mereka masuk ke dalam hutan, cover bag Ikik sudah menjadi korban dan terkena sayatan pertama.

"Waduh!" Teriak Ikik, namun celah itu begitu sempit dan kembali terulang sobekan kedua. Fikri tertawa ceria.

"Sialan, banyak banget Fik durinya" Kata Ikik.

"Iya bang, kita masih tergolong pendaki - pendaki awal. jadi ini jalan sudah lumayan tinggi tertutup semak." Bang Rei mencoba membantu melepaskan beberapa duri yang tersangkut di cover bag Ikik dari belakang. 

"begini terus bang sampai atas?" tanya Ikik.

"Tambah parah bang! hahaha." tawa Fikri dari depan melihat Ikik yang berjuang menyelamatkan tasnya. 

Bang Rei yang berada di belakang Ikik kemudian mengeluarkan kantong plastik yang agak besar. kantong tersebut kemudian sedikit dirobek, ditutupkan pada bagian atas tas Ikik dan ditali dengan tali tenda kecil yang bang Rei siapkan.

"Nah, lanjut dah bang, minimal ndak bakal gampang nempel kalau ditutupin plastik. kalau bahannya cover bag sama tas abangnya emang gampang nempel." Jelas bang Rei.

"Oke terima kasih bang" Ikik berdiri dan mulai berjalan.

Tidak diduga ternyata usulan bang Rei benar - benar berhasil. setelah melewati celah kedua dan bahkan harus menunduk akibat ada pohon jatuh yang menghalangi pun dapat menyelamatkan cover bag Ikik. selain itu karena kantong plastik memiliki permukaan yang lebih licin, duri tidak mudah menempel pada kantong plastik tersebut. bisa dikatakan pengalaman kali ini lebih berguna. untuk mereka berdua yang telah berkali - kali mendaki gunung Tambora ini tentunya sudah banyak pengalaman terkumpul dari setiap perjalanan mereka. 

Perjalanan berlanjut dan kali ini Ikik tampak sangat memperhatikan bagaimana Fikri melangkah. Seperti sebelumnya, jalur pendakian gunung Tambora memiliki banyak celah sempit dengan tanah lumpur sebagai dasarnya. sehingga ketika hujan datang, jalan akan menjadi licin. dengan sepatu gunung yang Ikik serta bang Rei gunakan pun masih sesekali terpeleset akibat licinnya jalan. Sepatu gunung memiliki cengkraman yang tentunya jauh lebih baik daripada sandal karet yang Fikri kenakan. namun pada beberapa jalur celah licin itu, Fikri bahkan bisa bergerak lebih cepat daripada mereka berdua. Lebih tepat karena Ikik berada di tengah, Bang Rei sebagai sweeper mengikuti langkah dan pace Ikik yang melambat karena jalur licin. karena penasaran inilah Ikik berusaha mempercepat langkahnya agar lebih dekat dengan Fikri sehingga dia bisa mengamati bagaimana Fikri bisa mengatasi jalan licin ini.

Sedikit usaha dan akhirnya Ikik sampai lebih dekat pada Fikri. dia mengamati sambil berusaha sesekali meraih ranting atau tanaman di sekitarnya untuk perpegangan di beberapa bagian yang licin. Hingga akhirnya dia takjub dengan bagaimana Fikri melangkah. mungkin memang karena pengalaman yang terbentuk karena keterbatasan. sandal karet itu tentunya licin, bukan berarti ketika dikenakan Fikri, sandal itu akan menjadi lebih nyaman untuk digunakan di tempat licin. namun Fikri yang memang lihai dalam melangkah. pada beberapa kesempatan dimana tanah menjadi lumpur licin, Fikri akan mengamati dan mencoba menapak pada dedaunan yang jatuh. berpijak pada dedaunan yang jatuh tersebut jauh lebih tidak licin daripada lumpur karena tentu saja secara luas permukaan dan kekasaran akan lebih kasar daun yang jatuh tersebut.

Hal yang menarik adalah ketika Fikri akan terpeleset karena salah menginjakkan kakinya atau memang pada kondisi dimana dia tidak menemukan daun jatuh sebagai pijakan. dia akan dengan sangat cepat mengganti kakinya untuk bertumpu. Jika kaki kiri yang terpeleset, maka secepat kilat kaki kanannya maju untuk mengambil titik berat dan keseimbangan tubuhnya agar tidak terjatuh. hal ini terus dilakukan hingga dia maju karena cepatnya kakinya bergerak. tentu saja hal ini bukanlah hal yang mudah jika kalian membawa tas carrier yang penuh dengan logistik. selain itu secara fisik Fikri bukanlah orang yang benar - benar kuat, dia cukup kurus untuk anak SMA namun kelincahannya adalah kunci dia bisa selamat dari setiap bagian yang licin. pada beberapa kesempatan, Ikik mencobanya namun karena kurang bisa memindah berat tubuh dan tasnya pada posisi yang tepat dengan cepat, dia berakhir terjatuh. kembali tawa Fikri memecah hutan ketika Ikik terjatuh.

Beberapa bagian dari jalur ini bisa sangat datar dan bahkan hingga awal masuk vegetasi hutan, ketika jalan beton sudah hilang berganti jalan setapak tanah, ketika tanaman berduri dan celah sempit mulai menghiasi rute mereka jalan tergolong datar. hal ini berlanjut hingga pos 1. siang itu cuaca mendung sehingga sangat membantu kondisi mereka dalam mendaki. cuaca mendung itu menghalangi sinar matahari sehingga rute mereka tidak terlalu panas. Namun juga menjadi hal yang menyusahkan apalagi banyaknya celah yang harus mereka lewati. celah itu lebih jarang terkena sinar matahari bahkan pada saat matahari bersinar cerah. Hal ini menyebabkan kelembapan di celah lebih tinggi. artinya tanah yang licin karena air akan bertahan licin lebih lama. hal inilah yang menjadi tantangan pendakian gunung Tambora.

Perjalanan awal ini sebenarnya tidak terlalu berat bagi Ikik walaupun sesekali terpeleset dan ada masalah dengan tanaman berduri sebelumnya. Namun secara keseluruhan, perjalanan ini bahkan baru saja dimulai dan permasalahan dengan tanaman berduri sebenarnya juga masih belum muncul. beberapa artikel mengenai pendakian gunung Tambora sudah Ikik baca, sebagian besar cerita pendakian gunung Tambora akan memuat tentang Jelatang atau jancukan. tanaman berdaun menjari yang seluruh bagian batang dan daunnya dipenuhi dengan duri. ketika berhadapan dengan jelatang, bukan durinya yang akan menjadi musuh utama dan alasan mengapa tanaman ini begitu ditakuti, namun karena racunnya. siapapun dan dari sisi manapun pendakian gunung Tambora akan bertemu dengan tanaman unik ini.

"Abang ndak takut kena Jelatang?" tanya Fikri pada Ikik melihat Ikik mengenakkan celana pendek dalam pendakian kali ini.

"Kalau sesuai artikel sih kebanyakan akan ada setelah pos 3, selama kita jalan tidak sampai malam sih aku aman - aman aja Fik, lah kamu sendiri?" Ikik balik bertanya. Pasalnya Fikri juga mengenakkan celana pendek. Namun dengan kelihaiannya menggunakan sandal karet dalam memilih pijakan serta merubah titik berat tubuh dan tasnya dengan sangat baik, tentunya Ikik bisa menebak jawabannya.

"Sudah biasa bang" Jawab Fikri sesuai dengan tebakan Ikik.

"Kalau di Jawa, namanya Jancukan, banyak sekali kalau naik gunung Argopuro di Jawa Timur." Kata Ikik, mereka masih berjalan sesuai pace dan Fikri masih berada di depan Ikik seperti sepanjang perjalanan ini. Namun terlihat Fikri sangat tertarik ketika menyebutkan 'gunung di Jawa'.

"Aku pernah diceritain sama Pak Mustafa bang, katanya gunung dengan rute terpanjang ya?" Fikri mulai menunjukkan ketertarikannya.

"Woh Iya Fik, butuh minimal 4 hari perjalanan normal kalau naik dari Baderan sampe Bremi. Cobalah kapan - kapan." kata Ikik menjelaskan.

"Sekolah dulu yang bener, biar bisa cari duit yang bener dan bisa traveling kayak abang Ikik." Bang Rei menambahkan dari belakang.

"Bener tuh Fik, Sekolah dulu yang bener, gunung ndak bakal kemana Fik, kalau emang ada kesempatan nanti kabari aja aku, kali kita bisa mendaki bareng." Kata Ikik.

"Wooh siap bang, nanti minta nomornya abang ya kalau udah turun, aku tidak membawa handphone takut basah kena hujan bang." Fikri tersenyum lebar menjawab kata - kata Ikik. 

Mimpi adalah pemicu terbaik serta menjadi motivasi untuk manusia. Ikik memberikan mimpi dan harapan dalam bentuk dan wadah yang tepat serta alasan yang tepat. sehingga bagaimana Fikri menjalaninya akan tergantung pada sebagaimana Fikri berusaha. bang Rei pun tampak peduli pada salah satu juniornya itu. Bukan kehidupan yang buruk bekerja menjadi seorang Guide dan bahkan jauh dari kata buruk karena hal itu merupakan pekerjaan yang halal. Namun sesuai dengan apa yang dikatakan bang Rei, Belajar yang rajin juga berarti mencari ilmu dan pengalaman. Fikri yang begitu polos akan digilas habis di kota besar. Fikri yang jujur dan apa adanya itu akan kehilangan jati dirinya. Jika itu merupakan salah satu jalan cerita yang disajikan tuhan pada Fikri suatu saat, maka sebagai abang, mentor, senior, dan bahkan mungkin kakak, bang Rei memberikan pendidikan mental. Gunung serta Kegiatan Outdoor adalah cara terbaik dalam melatih mental.

When you want something in life, you just gotta reach out and grab it.

Ikik tiba - tiba teringat dengan quotes dari film yang pernah dia tonton beberapa tahun lalu. Menceritakan seorang yang bisa dikatakan memiliki apa yang tidak Ikik dan Fikri punya, harta melimpah. Namun karakter film tersebut kemudian membuang segala yang dia punya untuk menyatu dengan alam walaupun pada akhirnya dia meninggal dunia di alam. Sebuah film yang berdasarkan cerita nyata dengan judul Into The Wild ini merupakan film yang sangat menarik bagi Ikik, namun bersamaan dengan rasa ketertarikan karena motivasi sang karakter, dia juga merasa bahwa karakter itu begitu bodoh. keluarga, saudara, gelar, ijazah, uang, mobil, dan bahkan identitasnya sendiri dibuang oleh karakter tersebut. dari sudut pandang Ikik dan bahkan mungkin Fikri, itu adalah hal paling bodoh untuk sebuah pilihan hidup. tapi tentu saja walaupun pada karakter yang mengambil keputusan bodoh itu, terdapat sebuah kata - kata motivasi yang indah. Sebuah kalimat yang membuat Ikik terpesona dengan kegilaan dalam bekerja dan suka duka menjadi pegawai.

Papan tanda Pos 1 Pendakian Gunung Tambora

Apakah Fikri akan sukses suatu hari nanti? Apakah Fikri akan keluar dari desa yang diapit laut dan gunung ini kemudian merantau, mencari pengalaman, dan mulai melihat dunia luas? atau mungkin Fikri akan tetap berada di desanya yang tenang dan damai. sesekali mencari ikan, sesekali berkebun, dan sesekali menjadi guide. berkeluarga kemudian mati. Setiap kemungkinan hanya Fikri yang akan merasakan dan akan menjadi pilihan hidupnya. Terbesit dalam pikiran Ikik jika suatu hari mungkin beberapa tahun atau puluh tahun kembali dipertemukan dengan Fikri akan seperti apa rupanya, akan seperti apa pekerjaannya, akan seperti apa kehidupannya. Dalam hatinya dia berdoa agar senyum polos bocah lereng Tambora itu tak akan tergerus oleh kerasnya dan kejamnya dunia.

Perlahan jalan celah mulai berkurang namun sudah tidak lagi tampak kebun kopi dimanapun. mereka bertiga sudah benar - benar berada di hutan. tak ada cabang setelah melewati jalur beton untuk pipa dan pipa tersebut sekaligus menjadi penunjuk jalan bagi para pendaki yang mendaki gunung ini. Fikri dengan pergerakan kakinya yang cepat berangsung menjauh dari Ikik yang berada di belakangnya sedangkan bang Rei tetap di dekat Ikik sebagai pemandu. sesekali mereka berdua ebrhenti untuk sekedar minum air, mengambil nafas dan kembali melanjutkan perjalanan. semakin mendekat ke Pos 1, jalan yang banyak licin itu pun semakin hilang. Celah sempit pun mulai berkurang hingga akhirnya sebuah pondok kecil terbuka ada di hadapan mereka dengan tulisan pos 1. Fikri yang jalan terlebih dahulu sudah tampak duduk di pondok tersebut. tas carriernya sudah dia lepaskan dan dia letakkan menyandar ke salah satu pilar pondok yang berdiri kokoh.

"Kita istirahat dulu bang." kata bang Rei yang kemudian melepas tasnya.

"Siap bang." jawab Ikik yang juga melepaskan tasnya.

Terdapat 3 buah pondok di lokasi ini sebenarnya namun salah satu diantaranya rubuh. menyisakan atap yang tergeletak penuh cerita. dua diantaranya masih berdiri kokoh dan Ikik duduk disalah satu pondok tersebut, Bang Rei membuka tas carrier berusaha mengeluarkan kompor sedangkan Fikri mencoba mencari tali untuk mengikat sandal karetnya. hanya ada mereka bertiga disana bersama dengan suara angin yang membelah dedaunan hutan. membunyikan musik hutan dengan ranting dan daun yang bergesekan menjadi instrumennya. Keringat Ikik masih menetes di dagunya dan membasahi hampir seluruh punggungnya. ketika angin menyentuh saraf perasanya, perasaan sejuk itu benar - benar dia nikmati. Seluruh pekerjaan beratnya dan di depan laptop selama berhari - hari terbayarkan. sesekali bunyi burung - burung kecil terdengar. sedang asik bermain sepertinya. lambat tapi akhirnya Ikik terlelap.

"Fik, ambil air dulu sana." kata bang Rei kepada Fikri. dia menunjuk ke arah suara pipa air di belakang pondok tersebut.

"Iya bang." Fikri mengambil tasnya dan mengeluarkan beberapa botol air yang telah diremas sehingga memudahkan untuk packing. dia tiup botol tersebut dengan cukup kencang. tidak 100% kembali seperti semula namun cukup untuk mengisi air di dalamnya.

di belakang pondok tersebut terdapat sumber air yang disediakan dari pipa. terdapat semacam bak pelepas tekan kecil tersedia dengan lubang diatasnya. lubang tersebut tertutup dengan kayu. sepertinya melindungi dari lubang air tersebut kemasukan dedaunan atau kotoran lainnya. Fikri mengambil air dari tempat tersebut sedangkan bang Rei mulai menyiapkan kopi dengan air yang telah disiapkan sebelumnya.

"Bang, Kopi dulu biar semangat lagi." Kata bang Rei menawarkan segelas kopi pada Ikik yang mulai terlelap.

perlahan Ikik terbangun antara angin yang mulai membuat tubuhnya menggigil dan aroma kopi yang menggoda. dia kemudian menerima kopi tersebut, meminumnya, dan kehangatan mulai kembali pada tubuhnya. 

"Join aja Fik ini." kata Ikik menawarkan kopi pada Fikri yang masih berusaha memasang tali pada sandal karetnya.

"Oke bang." dia berdiri meninggalkan sendalnya tergeletak dan meraih kopi dari Ikik.

"mau bikin apa Fik?" tanya Ikik

Fikri meminum seteguk kopi dan menjawab "ini bang, dari tadi agak selip soalnya karet bagian atasnya kena lumpur. jadinya licin."

Cukup menakjubkan sebenarnya dengan kondisi medan berlumpur tersebut, Fikri masih bisa bertahan dengan hanya sedikit terpeleset tanpa jatuh yang berarti. kemudian dia mencoba mengikat karet pada sandalnya menggunakan tali plastik yang dia cari di sekitar pondok tempat kita beristirahat. ada 2 hal yang membuat Ikik kagum yaitu bagaimana skill dia dan bagaimana kreativitasnya. dengan mengikatkan karet tersebut pada kakinya, sandal karet yang licin itu akan lebih mengikat pada kaki Fikri. dengan demikian tidak banyak bergeser. mirip seperti konsep sandal gunung yang terdapat tali pengikat di bagian belakangnya. hanya saja bahan sol dari sandal gunung lebih pada bahan yang cocok untuk pendakian. terdapat gerigi untuk grip dalam melangkah. sedangkan seperti yang kita tahu, sandal karet tidak didesain untuk hal tersebut. Fikri mengkombinasikan 2 hal ini seperti biasa saja.

Ikik berdiri dan mulai merogoh kantong tas bagian depan. dia kemudian mengeluarkan tali seperti webbing namun lebih kecil. kemudian dengan pisau yang dibawa bang Rei, Ikik memotong tali tersebut, memasangkannya pada sandal Fikri.

"Kalau pakai tali rafia sakit Fik lama - lama kaki kamu, pakai saja tali ini lebih lebar jadi ndak bakal terlalu sakit kalau sudah berjalan lama." Kata Ikik sembari mencoba mengukur kaki Fikri.

"Wah makasih bang." kata Fikri. Setelah terukur dengan benar, terlihat Fikri lebih mudah menggunakan sandalnya. ada rasa penasaran sebenarnya dari Ikik tentang apa jadinya jika dengan semua keterbatasan perlengkapan mendaki Fikri kemudian diberi perlengkapan yang mumpuni. perlengkapan itu dikombinasikan dengan skill Fikri yang tergolong luar biasa. tentu saja mengikuti perlombaan lintas alam bukan masalah sebenarnya untuk Fikri dan bahkan ada potensi.

"Bang, setelah ini kita lanjut ya bang, sepertinya kita bakal camp di pos 2 atau lanjut track malam bang?" tanya Bang Rei pada Ikik.

"Estimasi 3 hari masih bisa tercapai kah bang kalau kita camp di pos 2?" Ikik mencoba menimbang karena parameter utama dari pendakian pekerja kantoran seperti Ikik adalah waktu yang terbatas.

"Masih bang, tapi besok kita harus berangkat pagi dan langsung menuju pos 5, kemudian di malamnya kita summit bang." Jawab bang Rei menjelaskan. 

"Oke siap bang, seperti itu saja, soalnya agak rawan juga jalan malam. kalau bisa berhenti dan masih ada waktu mending kita berhenti dulu saja bang." kata Ikik. 

berjalan malam memang penuh resiko khususnya di daerah gunung. seperti yang dipelajari hampir seluruh anak SD di Indonesia khususnya, ketika siang hari, tanaman akan menyerap karbon dioksida dan mengeluarkan oksigen. sehingga kita sebagai manusia yang menghirup oksigen akan merasa segar. namun sebaliknya terjadi ketika pada malam hari, tanaman akan sama seperti kita menyerap oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida. bayangkan saja jika sedang berjalan diantara hutan yang penuh dengan tanaman tentunya, maka seperti kita sedang berjalan diantara kerumunan atau bahkan hutan yang rapat akan terasa seperti berjalan pada lokasi konser. Ikik, Bang Rei, dan Fikri akan berbeut oksigen dengan tanaman sekitar. Oleh sebab itu perjalanan malam untuk pendakian sangatlah tidak disarankan.

selesai menghabiskan kopi mereka, Bang rei mencucui gelas dengan air yang telah diambil Fikri dibelakang pondok. Fikri dan Ikik mencoba sekali lagi sandal karet yang digunakan oleh Fikri untuk melanjutkan perjalanan mereka. mencoba sekali lagi mengecek apakah talinya sudah terikat dengan kencang. Fikri mencoba dengan sedikit loncat dan berlari kecil mencoba mengetes kekuatan tali. setelah dirasa aman dan bang Rei sudah selesai membereskan seluruh perlengkapan memasak yang sempat dikeluarkan, akhirnya mereka melanjutkan perjalanan mereka. Ikik sempat melihat jam tangan dan waktu menunjukkan pukul 15.30 WITA. masih ada cukup waktu menuju pos 2. 

kondisi jalan dan track masih sama seperti sebelumnya namun kali ini perjalanan mereka harus melewati beebrapa lembah sehingga tanjakan dan turunan menuju pos 2 mulai banyak. pada kondisi awal pendakian dibuka seperti itu salah satu tantangannya adalah banyaknya pohon tumbang. Pohon tersebut masih belum banyak dibersihkan sehingga pada beberapa bagian Ikik, Fikri dan bang rei harus membungkukkan badannya, melewati celah dibawah pohon dan bahkan pada beberapa bagian harus merangkak. celah sempit licin juga masih terlewati di beberapa bagian jalur. Kali ini Ikik sudah sanggup memilih pijakan dengan lebih baik daripada sebelumnya, sedangkan Fikri sudah cukup enjoy dengan sandal karet yang telah diikat.

Matahari masih bersembunyi dibalik awan yang tebal. sama sekali tidak menampakkan wujudnya. di beberapa bagian celah sempit yang licin, suasana akan terasa lebih gelap, lembab. udara dingin juga mulai menyeruak ditambah dengan angin yang terus berhembus. kabut pun mulai turun. sore itu dunia seperti hanya menyisakan mereka bertiga. beberapa kali berhenti untuk minum dan meringankan dahaga. pada antara pos 1 dan pos 2, terdapat pondok lain yang disebut dengan pos bayangan. ketika mereka bertiga sampai pada lokasi ini, masih tidak ada siapapun sehingga praktis dari awal pendakian hingga sampai pada titik ini hanya ada mereka bertiga saja. 

"Dari tadi kita tidak bertemu dengan satupun orang bang. apa ada yang mendaki selain kita bang?" tanya Ikik sembari menyandarkan tasnya pada salah satu pilar pondok.

"Harusnya sih ada bang, tadi ketika saya dan pak Mustafa memarkirkan motor di parkiran, terdapat beberapa motor lain." jelas bang Rei. 

"Kita istirahat 5 menit terus lanjut ya. aman fik?" tambah bang Rei, sekaligus menanyakan kondisi Fikri yang mulai terengah engah.

"aman bang. Cukup cepat jalan kita sekarang." kata Fikri. dia mulai emngambil nafas panjang untuk mengatur nafasnya.

"Kita kejar biar tidak sampai malam di pos 2." kata bang Rei.

ketika mereka sedang asik berbincang, dari arah depan terdengar langkah kaki menuju mereka. kemudian munculah 3 orang lelaki yang 2 diantaranya membawa tas carrier sedangkan 1 lagi membawa tas kecil namun di tangannya menenteng tenda. wajah mereka tampak serius dan seperti sedang tergesa - gesa. 

"Kalembo ade bang." kata Fikri pada mereka bertiga.

"Kalembo ade, pos bayangan ya?" Jawab salah satu dari mereka. keringat mengucur dan nafas mereka terengah - engah. berat. lelaki yang membawa tas paling kecil di bagian belakang membuka botol minumnya, kemudian meneguk dengan cepat. diberikan botol itu pada teman di depannya.

"Jam berapa bang?" tanya lelaki yang berada paling depan pada Ikik. dia melihat jam tangan di pergelangan tangan ikik.

"jam 16.20 WITA bang." jawab Ikik.

"Waduh, yaudah kita lanjut dulu bang, kalembo ade." kata lelaki yang di depan. kemudian dia mengajak 2 orang yang lain untuk melanjutkan perjalanan mereka. tanpa banyak basa - basi mereka melanjutkan perjalanan. hilang di semak - semak dengan langkah panjang dan cepat.

"sangat tergesa - gesa sekali mereka ya" kata Fikri.

"yah mungkin dia ada urusan Fik. yaudah yuk kita lanjut juga." Ikik berdiri disusul Fikri dan bang Rei. kemudian mereka melanjutkan perjalanan. 

"Sepertinya gelap kita sampai, senter sudah disiapkan semua kan?" kata bang rei mengingatkan.

"Sudah bang" jawab Ikik dan Fikri.

Entah karena rasa lelah dan perut yang mulai lapar, mereka mulai mempercepat langkah mereka. kali ini yang berada di depan adalah Bang rei disusul dengan Ikik dan Fikri yang berada di paling belakang. entah Fikri yang mulai melambat atau memang bang Rei dan Ikik yang sudah panas dan mulai terbiasa dengan medan terlihat jelas bahwa Fikri berusaha keras menjaga pace langkahnya agar sama dengan bang Rei dan Ikik. sesekali Ikik juga melihat ke belakang, mengatur pace agar Fikri tidak tertinggal. Ketika waktu menunjukkan pukul 17.30 WITA, pace benar - benar berubah karena jalan sudah mulai sulit terlihat. kabut turun dengan cepat menurunkan suhu udara. Bang Rei pun emutuskan untuk mengurangi Pacenya dan berjalan dengan lebih berhati - hati. matahari sebenarnya masih menyinari dan cahayanya masih menembus namun tidak terlalu jelas. mereka sudah masuk ke dalam hutan dan mulai berjalan menuruni lembah. 

Suasana mulai sedikit mendebarkan ketika tiba - tiba dair belakang Fikri terpeleset dan jatuh. Ikik dan bang Rei yang terkaget serentak menoleh ke belakang dan menghampiri. Dia berada sekitar 5 m di belakang Ikik dan mereka berdua menolong Fikri untuk berdiri. Keringat mengucur deras dan Fikri sangat terengah - engah. dia sudah cukup bersusah payah mengejar pace bang Rei dan Ikik yang tentunya menang dalam segi pengalaman mendaki gunung. setelah kejadian itu, mereka mengurangi pace mereka. Fikri yang kelelahan berada di tengah sedangkan Ikik berada di paling belakang. Bang Rei masih berada di depan sebagai penunjuk jalan. Matahari sepertinya mulai tidak berkompromi ditambah dengan hutan yang semakin lebat, kabut yang semakin tebal, dan lembah yang semakin dalam.

"Sepertinya setelah ini pos 2 bang. kurang dikit" kata bang Rei.

Suasana Pendakian saat Perjalanan Malam Gunung Tambora

Mereka fokus pada langkahnya dan masih sedikit enggan mengeluarkan senter. sayup sayup terdengar suara gemericik air dari bagian bawah lembah. namun masih tidak nampak karena kabut yang tebal. semakin turun di lembah tersebut semakin terdengar suara air, selain itu pelan namun juga terdengar suara orang. ada perasaan lega terpampang pada ketiganya ketika mereka sudah yakin bahwa pos 2 sudah dekat. Fikri pun mulai bangkit dan berjalan dengan lebih tegap. mentalnya meningkat ketika ada harapan pos 2 yang mulai dekat. kemudian di akhir turunan ini, sebuah pondok terlihat. cukup usang pondok kali ini dengan lumut tumbuh lebat diatapnya. tentu saja pondok yang berada di dasar lembah yang dalam seperti ini, dikelilingi dengan pepohonan besar. Lembab dan lumut akan tumbuh dengan subur. masih ada sedikit celah diantara dedaunan dan matahari masih belum bena r- benar tenggelam. redup, tapi cukup. cukup untuk mereka melihat papan tulisan yang bertuliskan "POS 2". 


Bersambung...

Next Part IV (Klik)

Back Part II (Klik)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengapa Analisa Keruntuhan Bendungan Cirata dan Jatiluhur Begitu Kompleks? Bahkan Bisa Membutuhkan Ratusan Skenario yang Perlu untuk Dimodelkan

Day Hiking Fuji, Timeline, Kurang dari 5 Jam Sampai Puncak!!

Menyusuri Lembah Shosenkyo, Jungle Track, Air terjun, dan Rope Way