Hujan Jam - Jaman, Standar yang tidak Pernah Menjadi Standar (Bagian II)
Bagian II ini aku akan membawa pembahasan pada perbandingan antara data yang didapatkan dari pencatatan yang kemudian dibawa ke perhitungan hujan jam - jaman dengan nilai hujan pada kala ulang tertentu. Seperti yang kita ketahui bahwa hujan badai yang bisa terjadi salah satunya adalah akibat adanya typhoon (siklon) di suatu tempat tertentu dan menyebabkan areal tersebut terguyur hujan dengan intensitas yang tinggi. sehingga akibat hal tersebut lah setelah siklon melewati suatu areal tertentu, umumnya areal tersebut terkena bencana banjir.
Seperti dilansir dari beberapa media ketika siklon Seroja menghantam NTT menyebabkan banyak orang mengungsi, rumah rusak akibat angin dan banjir. tentu saja hal ini merupakan sesuatu yang cukup jarang terjadi. mungkin beberapa tahun sebelum ini, jika kita mengacu pada climate change, maka dampak dari siklon yang terus meningkat membuktikan bahwa peningkatan ini nyata terjadi. artinya hal ini akan menjadi sebuah tantangan tersendiri untuk pembangunan dan dunia engineering.
Siklon dan PMF Indonesia
Bagian 2 ini akan aku mulai dengan pembahasan hujan jam - jaman pada mata kuliah Pengelolaan DAS. tentu saja pada semester ini tidak dibahas detail dan hanya 2 orang di dalam kelas yang pernah melakukan analisa statistik termasuk aku. namun sebuah paparan yang kemudian disusul dengan penjelasan bahwa perhitungan typhoon atau siklon yang menghantam Jepang umumnya dihitung sebagai kala ulang 100 tahun yang kemudian dihitung dengan hujan jam - jaman selama 2 s.d. 3 hari.
Seperti yang sering aku bahas bahwa siklon memang memiliki berbagai tingkatan yang bergantung pada kecepatan anginya. namun umumnya semakin tinggi tingkatan siklon, maka semakin besar intensitas hujan yang terjadi. jika dengan siklon tersebut dimasukkan ke dalam data. lalu dengan perhitungan probabilitas terjadi selama 100 tahun, besaran siklon tersebut tentu saja akan mengecil jika diextend dengan lama waktu yang terjadi.
lalu aku akan sandingkan dengan apa yang biasa kita hitung di Indonesia yang secara umum hujan jam - jaman dihitung berdasarkan metode empiris yaitu PSA 007. sebagai disclaimer aku tidak mengatakan bahwa metode ini salah, namun sebagai perbandingan saja dengan nilai QPMF yang tentu saja dihitung sebagai banjir yang sangat besar, kita menghitung banjir tersebut menjadi single hidrograf yang menyebabkan debit puncak terhitung menjadi lebih besar. bahkan untuk debit selain PMF juga terkadang dihitung dengan hujan jam - jaman yang lebih kecil daripada 24 jam. seperti pada contoh hidrograf bendungan Parangjoho yang dihitung dengan metode Gama I sebagai berikut:
Hidrograf Satuan Sintetis Gamma I Bendungan Parangjoho Dikutip dari Laporan Akhir Bab Hidrologi IB Parangjoho 2016 |
dari Tabel diatas, dapat diketahui bahwa hidrograf banjir QPMF menggunakan 24 jam sedangkan banjir lain menggunakan 12 jam. lalu jika kalian mencoba perhitungan QPMF dengan 12 jam, maka hasil output debit puncak yang terjadi akan jauh lebih besar. ini adalah single hidrograf yang biasa aku pun lakukan sebagai dasar perhitungan.
Siklon Hidrograf
Perubahan iklim memang mendorong terjadinya tingkat hujan dan banjir yang juga ditandai dengan peningkatan jumlah siklon yang terjadi di seluruh dunia. aku membahas hal ini dalam postingan sebelumnya yang membahas tentang siklon. ketertarikan ini merupakan personal yang nyataya kenaikan muka air waduk bendungan Tamblang di Bali meningkat dengan sangat cepat bertepatan ketika siklon Freddy tepat berada di selatan Bali. artinya semakin dekat dengan siklon atau pusat siklon, semakin besar hidrograf yang mungkin terjadi dan semakin besar banjir yang bisa terjadi.
kembali ke pembahasan dimana semakin dekat dengan siklon, maka semakin besar hujan dan banjir yang terjadi dan semakin besar pula kala ulang yang terjadi. artinya tanpa data jam - jaman yang memadai, sangat susah pendekatan untuk mendapatkan bagaimana pengaruh suatu siklon tersebut kepada hujan yang terjadi sehingga pendekatan dengan menggunakan metode empiris seperti PSA 007, Mononobe, dan sebagainya menjadi kurang relevan. selain tentu saja karena penentuan waktu dan bentuk hidrograf yang hanya 1 hidrograf saja, pencatatan historis untuk hujan badai menjadi sebuah data yang sangat berharga.
Aku akan memberikan contoh perbandingan siklon yang terjadi di Taiwan dan menjadi studi. aku kutip dari jurnal yang berjudul Estimation of Hourly Rainfall During Typhoons Using Radar Mosaic-Based Convolutional Neural Networks oleh Chih-Chiang Wei dan Po-Yu Hsieh
Taiwan menjadi salah satu tempat yang sering terkena dampak siklon dan bahkan dilewati siklon secara langsung. kemudian mereka membandingkan siklon Matmo, Soudelor, Dujuan, dan Megi di 3 stasiun hujan yang berbeda.
Dikutip dari Jurnal ion of Hourly Rainfall During Typhoons Using Radar Mosaic-Based Convolutional Neural Networks oleh Chih-Chiang Wei dan Po-Yu Hsieh Diakses melalui Remote Sensing | Free Full-Text | Estimation of Hourly Rainfall during Typhoons Using Radar Mosaic-Based Convolutional Neural Networks (mdpi.com) pada November 2023 |
tentu saja aku tidak akan membahas bagaimana perbandingan tersebut, namun jika kalian lihat, ketiganya menunjukkan kesamaan pada hujan jam - jaman yaitu:
- ketiganya mengalami > 1 hidrograf
- ketiganya mengalami > 24 jam hujan
jika kita memasukkan keempat kejadian dalam 1 perhitungan statistik hujan dengan kejadian yang kurang dari 100 tahun terkini, maka tentu saja ini tidak akan melebihi kala ulang 1000 tahun apalagi PMF.
Kesimpulan dalam Pertanyaan
Sekali lagi aku tidak akan mengatakan perhitungan hidrologi dengan menggunakan metode empiris itu salah, namun tentu saja data pencatatan yang bisa dikalibrasi menjadi data yang paling berharga dalam analisa. kurangnya Indonesia dalam ketersediaan data jam jaman menjadi salah satu pemicu mengapa perhitungan secara empiris masih menjadi salah satu metode yang diandalkan. faktor kedua adalah bagaimana susahnya untuk mendapatkan hujan jam - jaman tersebut. berbeda dengan jepang yang seluruh pihak sangat mudah mengambil dan mengakses data tersebut, namun di Indonesia kita sebagai praktisi seringkali kesulitan baik secara administrasi maupun kewenangan.
Jadi, semakin buruk ketersediaan data, semakin kita bergantung pada empiris, semakin kita kesulitan untuk kalibrasi dan verifikasi, dan outpit analisa menjadi kurang optimal. pertanyaannya, sampai kapan ketersediaan data kita masih tertinggal jauh seperti ini??
Sangat menarik, memang selalu menjadi permasalahan terkait hujan jam-jam an apalagi hal ini terkait dengan besaran debit yang akan terjadi nantinya.
BalasHapusLalu saat ini pendekatan hujan jam-jam an dilakukan dengan data yang dihimpun dari satelit GPM 1/2 jam-an lalu disandingkan dengan pola hidrograf PSA, Huff ataupun SCS. Menurut mas bagaimana dengan kesesuaian metode ini? mengingat data satelit hanya memiliki korelasi yang baik dengan groundstation hanya pada curah hujan bulanan