Pendakian Argopuro Part 3 (menuju puncak)
Senin, 15 April 2013
05.30 WIB saat aku terbangun pagi itu.
Kali ini berbeda, jika dikota aku terbangun karena suara ayam, kali ini aku
terbangunkan oleh suara merak yang bersahut – sahutan di indahnya alam Cikasur
gunung Argopuro. Pagi itu cukup dingin dari pos – pos sebelumnya. Mungkin
dikarenakan ketinggian yang lebih tinggi di posisi kami berada saat itu. Aku
pun segera membangunkan Bimo yang saat itu masih tertidur.
Tak beberapa lama setelah membereskan
sisa – sisa kami beristirahat, kami memutuskan untuk berfoto –foto ria bersama
kak dhimas salah seorang senior dari PA anak – anak Jakarta yang berangkat
bersama kami. Matahari yang masih malu – malu muncul menjadi oyek yang sangat
indah di luasnya padang sabana cikasur yang sangat luas. Konon memang di tempat
ini pernah ada landasan pesawat terbang pada masa penjajahan dulu.
Perut yang sudah mulai meronta memaksa
kami untuk menyudahi acara berfoto kami saat itu. Apalagi sang surya yang sudah
mulai meninggi. Membuat hasil foto yang kami dapatkan tidak seindah sebelumnya.
Kami pun bergegas kembali ke tenda untuk masak. Menu kami berdua saat itu cuma
2 bungkus mie ditambah berbagai macam sayuran yang kami bawa. Ditambah dengan
kopi yang menjadi teman kami pagi itu. Mas Dodi dan beberapa anak Jakarta
lainnya juga sedang bersiap – siap sambil memasak masakan mereka.
Pagi itu kami selesai memasak dan
membongkar tenda lebih dulu daripada Mas Dodi atau anak Jakarta lainnya. Jadi
kami memutuskan untuk pergi ke sungai yang berada tak jauh dari camp kami saat
itu samil mandi dan mengambil selada untuk kami masak di pos selanjutnya. Bimo
sempat BAB di sebuah semak diatas sungai. Tak beberapa lama juga dating Suryo
dan Dwi yang sedang mengambil persediaan air untuk perjalanan mereka sebentar
lagi.
Tak beberapa lama kami semua telah siap
untuk menuju pos selanjutnya yang dinamakan dengan pos Cisentor.Setelah sejenak
berfoto bersama, kami segera menyusuri sebuah bukit di belakang camp kami.
Belum sampai puncak bukit sudah terlihat keindahan alam Cikasur. Beberapa
rumput terlihat seperti tersusun dengan sengaja atau terbentuk. Mungkin di
tempat itulah letak dari landasan pesawat terbang pada zaman penjajahan dahulu.
Perjalanan yang kami lalui cukup
panjang, apalagi perkiraan kami yang sedikit kesiangan saat itu. Beberapa kali
masuk dan keluar hutan. Mendengar cerita dari Mas – mas Jakarta bahwa akan
banyak ranjau (tumbuhan gatal – gatal) sepanjang perjalanan, aku dan Bimo
mencoba melindungi diri dengan memakai celana panjang dan kaos kaki, tetapi
tetap menggunakan sandal gunung yang mulai kemarin kami pakai.
Ternyata
memang benar seperti yang dikatakan mas – mas itu. Berkali – kali kami harus
menghindari banyaknya tumbuhan gatal – gatal
itu. Sesekali kami harus mengangkat tangan karena terdapat tumbuhan yang
sedikit lebih tinggi atau bahkan kami harus melompat atau berjalan memutar
karena banyaknya tumbuhan itu. Hingga jalanan mulai sedikit ekstrim, kami
melewati pinggiran dari jurang dan jalanan sedikit rusak karena terkena
berbagai macam longsoran yang sebelumnya terjadi di daerah yang kami lewati.
Mas dodi yang bergerak paling depan terus member tahuarah kami melalui pita
yang berwarna ungu yang dia pasang di sepanjang jalan yang kami lalui. Kami pun
harus jeli untuk mendapati pita ini.
Sekitar
4 jam kami berjalan, akhirnya terdengar gemercik air yang merupakan sumber air
yang ada di daerah cisentor. Sekali lagi terdapat sebuah sungai kecil seperti
sebelumnya, dan terdapat Pos yang menjadi tempat kami bermalam nanti. Akhirnya
kami sampai dan segera mendirikan tenda untuk kami nanti. Sambil mengamati,
ternyata di Cisentor terdapat 2 jalur, jalur pertama berada di belakang dari
Pos, sedangkan jalur kedua ada diatas Pos. Jalur di belakang pos menjadi jalan
kita nanti jika kita akan pulang atau pergi menuju taman hidup. Sedangkan jalan
yang ada diatas kami adalah jalan yang akan kami daki karena menuju puncak
argopuro rengganis yang akan kami daki
setelah kami bersiap –siap dan makan untuk menghimpun energy.
Aku
dan Bimo kali ini memasak sebuah sereal yang kami racik sendiri dan ditambah banyak
sekali gula. Karena makanan yang manis menjadi sumber energy yang paling
efektif apalagi kami mengejar waktu karena takut nanti kita habis dari puncak
kemalaman. Akhirnya setelah semua beres, kami mulai bergerak menuju puncak. Mas
Dodi tidak ikut karena ingin menikmati Cisentor. Akhirnya kami ber8 berjalan
menyusuri jalanan yang menanjak ini. Barang bawaan yang tidak terlalu penting
kami tinggalkan di Camp sehingga barang bawaan kami saat itu cukup ringan.
Perjalanan
mulai semakin berat, beberapa kali kami masuk keluar hutan dan melewati
beberapa kali padang rumput. Kami bahkan beberapa kali harus terpeleset karena
jalanan yang cukup licin karena sialnya perjalanan kami saat itu ditemani oleh
rintik hujan yang membuat jalanan menjadi sedikit licin. Beberapa tanjakan
bahkan sangat menanjak dan sangat menguras tenaga. Diselingi kami juga harus
menembus beberapa semak yang rantingnya sangat menusuk.
Suasana
kembali menjenuhkan ketika hujan tak kunjung reda dan jalanan mulai lebih sulit
dari sebelumnya. Kami harus berkali – kali melompati pohon tumbang yang
menghalangi jalanan. Kami juga harus terus bergerak dan meminimalisir istirahat
yang berlebihan. Air yang kami bawa juga tidak terlalu banyak dan untungnya
jalanan yang seperti itulah yang membuat kami tidak begitu banyak mengkonsumsi
air. Kembali kami menyisir pinggiran tebing yang panjang dan akhirnya kami
masuk ke dalam sebuah sabana yang sangat indah. Tampak seekor babi hutan yang
besarnya kira – kira sepinggang berlari ketika merasakan kami tiba di tempat
itu. Alun – alun lonceng, disitu kami berada saat itu.
Alun
– alun ini merupakan padang rumput tertingi di pegunungan argopuro. Lumut yang
tumbuh di sekitar rerumputan menjadi bukti bahwa tempat ini lembab. Disini
menjadi pertigaan menuju puncak argopuro atau puncak rengganis. Lebih tinggi
puncak argopuro sebenarnya, tetapi karena puncak argopuro yang hanya berupa
hutan – hutan dan puncak rengganis berupa batuan, kami memilih untuk naik ke
puncak rengganis karena menurut mas – mas Jakarta lebih indah dan asik.
Mas
Gembel dan Mas Jimmy membuka flasheet dan menyiapkan makanan dan minuman,
sedangkan kami sisanya menuju puncak rengganis. Sebuah tanda yang menunjuk arah
kiri dari tempat kami berdiri bertulisan rengganis kami ikuti. Tanjakannya
cukup terjal dan diselingi dengan beberapa batu dan kerikil. Akhirnya sampai di
sebuah tempat datar. Mulai tercium bau belerang dan batu – batu di sekitar kami
yang berwarna kekuningan, menandakan bahwa gunung argopuro tidak benar - benar sedang tidur. Akhirnya kami melewati
sebuah pohon edelweiss dan di belakangnya tampak sebuah pemandangan yang tak
akan kami lupakan.
2
buah makam kokoh dikelilingi bebatuan yang memang sepertinya sengaja dibentuk
mengelilinginya. Tampak anak – anak Jakarta sudah berganti pakaian dengan
sebuah kemeja yang sama, sepertinya memang mereka menyiapkannya. Sementara aku
tertarik turun karena melihat banyaknya tulisan – tulisan nama orang yang
dibentuk dari batu yang ada di sekitar makam. Mas Jawa bilang pada kami bahwa
kami boleh berfoto tetapi harus tidak ada makamnya atau kami bisa memfoto
makamnya tapi harus tidak ada kami. Kami menurut saja, kami pun turun dan mulai
berfoto – foto. Aku menata batuan sekitar menjadi nama orang yang pernah aku
sayang (saat aku nulis ini udah putus). Sebuah nama yang sudah meninggalkanku
sama seperti aku meninggalkan nama itu abadi (mungkin) di puncak rengganis.
Tiba
– tiba bulu kudukku berdiri. Aku dan Bimo yang sedari tadi berfoto – foto ria
merasakan sensasi aneh, mistis. Tiba – tiba kabut tebal dating dari arah
belakang kami, seolah menyuruh kami untuk pergi dari tempat itu. Sepontan kami
segera menuju ke mas Jawa yang dari tadi juga memanggil – manggil kami.
Akhirnya kami semua bergegas turun. Setelah melewati tumbuhan edelweiss tadi, suasana
sedikit berbeda. Kemudian kami turun, aku dan bimo berada pada barisan paling
belakang. Sesaat kami berhenti, kami mendengar seperti ada seseorang yang
memainkan musik jawa dan terdengar pula alat musik kenong meski sedikit samar
suaranya. Karena takut, kami pun segera berlari ke bawah menuju tempat mas
Gembel dan Mas Jimmy.
Kami
berdua diam seolah tak terjadi apa – apa karena akan mengganggu konsentrasi
perjalanan kami nantinya. Setelah mengumpul semuanya, kami semua memasak
makanan danminuman untuk perjalanan kami turun nanti menuju Cisentor. Udara
mulai bertambah dingin. Ketinggian kami saat ini memang kurang lebih 3000mdpl.
Jadi wajar saja suhunya sudah mulai dingin apalagi ditambah dengan angin dan
gerimis yang membasahi.
Makanan
telah habis kami makan dan semuanya telah masuk ke tempatnya dan dipacking di
dalam tas kami masing – masing. Akhirnya kami berangkat turun. Saprul berada di
paling depan, awalnya mas Jimmy agak jauh di belakang kami. Kemudian kami
mengikuti sebuah pita. Kemudian kami melewati sebuah pita merah yang sepertinya
tidak ada disitu. Tapi karena sudah terlanjur, kami teruskan saja. Ternyata
benar juga. Ada sebuah tempat seperti gubuk yang belum pernah kami lihat saat
kami berangkat sebelumnya. Tak lama kami sadar kami salah mengikuti jalur. Dengan
dipandu Mas Jimmy yang mengejar kami dari belakang, akhirnya kami skembali ke
jalur yang benar.
Lama
kami berjalan, akhirnya kami harus mengeluarkan senter kami masing – masing
karena jalanan sudah mulai gelap. Matahari sudah mulai terbenam, keadaan ini
sudah cukup parah karena kami harus berjalan di tempat yang gelap dan resikonya
lebih tinggi ditambah dengan hujan yang tak kunjung reda dari tadi. Tetapi kami
terus berjalan. Aku berada di paling depan sambil menyoroti jalanan yang kami
lalui. Mencoba mencari – cari jalan dan Pita yang merupakan petunjuk perjalanan
kami saat itu.
3
jam kami berjalan, fisikku mulai melemah ternyata, akhirnya bagian di depan
diantikan Mas Jimmy. Dengan teliti dia melihat satu demi satu belokan yang
mungkin menjadi jalur. Hingga akhirnya terdengar suara musik yang berasal dari
bawah kami. Berasal dari arah Pos Cisentor, berasal dari musik player mas dodi.
Betapa bahagianya kami akhirnya sampai di camp setelah berjalan cukup lama
menembus gelapnya malam. Kemudian kami disambut dengan the hangat oleh mas
Dodi. Setelah kami ersih – bersih sejenak dan bercengkrama di dalam pos sambil
menikmati musik mas Dodi, kami akhirnya memutuskan menyudahi malam itu. Malam
yang indah.
Komentar
Posting Komentar