Kecewa? Mari Downhill :-) (Part 1)
Butuh lebih dari
sekedar kemauan untuk berpetualang. Berbagai hal dan perlengkapan yang
dibutuhkan serta kesiapan diri perlu untuk disiapkan untuk memulai sebuah
petualangan. Entah ke gunung, hutan, pantai, danau, sungai atau kemanapun,
persiapan itu jelas perlu. Dengan didorong kemauan yang tinggi, maka jadilah
sebuah petualangan yang akan terkenang dalam benak kita masing – masing untuk
waktu yang sangat lama.
Kali ini cerita
tentang sebuah tunggangan manusia yang dijadikan sebuah petualangan dan olahraga
ekstrim. Sebuah petualangan yang mungkin bagi sebagian orang yang terlalu
sayang dengan kehidupan yang datar adalah hal gila. Memakan banyak korban,
banyak dana juga mungkin yang dibutuhkan. Hingga akhirnya melahirkan sebuah
kesenangan bagi para anak muda yang sungguh mencintai petualangan.
Cerita ini bermula
ketika sebuah kegagalan yang menusuk hati menyelimuti hariku. Sudah 3 hari
teman – teman MTB (Mountain Bike) community, sebuah komunitas masa laluku yang
berisi kawan – kawan masa lalu mengajakku untuk mengikuti sebuah acara downhill
di daerah jember. Yah, seperti biasa, kota kecil ku Lumajang memang tidak
menyediakan tempat downhill yang cukup mumpuni bagi pecinta downhill padahal
banyak tempat yang dirasa cukup berpotensi di daerah pegunungan tengger yang
terkenal. Tetapi kami berangkat menuju jember.
Aku hanya kurang suka
saja, mengulang masa laluku ketika masih jadi atlet sepeda gunung dan sepeda
balap. Bukan masa lalu yang buruk, tetapi berakhir dengan cara yang sangat
menyedihkan bagi seorang atlet. Tetapi mereka, teman – teman lamaku terus saja
mengajakku. Downhill adalah olahraga ekstrim yang butuh nyali tinggi. Butuh
sebuah kekuatan untuk mematikan salah satu emosi yang disebut rasa takut.
Menurut mereka aku salah satu orang yang dikenal mereka yang paling berani.
Yah, kenangan sampai jariku hampir patah 3 tahun lalu masih terngiang, tetapi
selalu saja berakhir tawa. Tanpa kesedihan dan rasa menyesal. Bagiku jatuh,
terluka, atau bahkan patah tulang hanyalah bagian dari resiko yang menyenangkan.
H – 2 sebelum acara
mereka masih saja mengajakku walaupun aku terus mengatakan tidak. Bukan karena
apa, aku hanya ingin sesekali menghabiskan waktuku, waktu bermain dan
berpetualangku bersama orang yang aku sayang. Seorang kekasih yang menemaniku di
salah satu petualangan hebat yang lain. Hanya saja hubungan ini sangat rumit.
Aku berusaha, terus berusaha mendapatkan sebuah ijin dari ibunya. Berusaha
mencoba restu untuk membawanya melihat keindahan dunia. Melihat keindahan
ciptaan tuhan. 4 bulan aku berhubungan masih saja belum pernah aku berbagi rasa
petualanganku dengannya. Yah, mungkin itu cita – cita ku padanya. Aku hanya
ingin membuatnya bisa membuka mata dan melihat apa yang aku lihat. Bukan dari
sekedar foto, tapi benar – benar melihat. Bersamaku, bukan dengan yang lainnya.
Hanya itu.
Sepertinya restu itu terlalu
jauh untuk aku gapai. Sepertinya aku dilihat tidak cukup baik. Mungkin tujuan
gunung bromo itu terlalu jauh bagi kami? Setidaknya aku berusaha, madakaripura?
Air terjun? Sulit juga bukan bersamaku? Yah. Kemudian semuanya aku ubah,
mungkin memang masih belum, mungkin saat ini makan siang bersama adalah hal
yang paling indah yang bisa kami lakukan untuk sementara. Apa? Tidak bisa juga?
Terlalu sulit ya untuk mendapatkan restu? Lalu aku harus bagaimana? Sakit
memang tak bisa melampiaskan betapa rindunya aku padamu. Yah, sedikit saja,
andai saja. Aku masih bisa bertahan sampai malam itu akhirnya ketika mereka,
temanmu mengajakmu untuk pergi berpetualang? Betapa mudahnya mereka bukan untuk
membawamu keluar dunia? Betapa mudahnya pula dirimu untuk mengucapkan iya pada
mereka. Kenapa? Lebih baik mereka. Ya memang, memang siapa diriku? Cuma pacar?
Cuma….
Yah pada akhirnya aku
memutuskan untuk mengikuti ekspedisi downhill teman – teman lamaku. Malam itu
juga aku segera mencari perlengkapanku. Helm? Sarung tangan? Pelindung siku?
Pelindung lutut? Oke semuanya masih ada. Sedikit kotor lama terbengkalai di
bawah tempat tidur, tetapi masih ada. Masih sangat baik dan siap untuk
membawaku pergi lepas dari semua ini. Semua hal yang membuatku bosan, semua
beban hidup, bahkan semua perlakuanmu padaku. Aku hanya ingin melepaskan
segalanya. Melepasakan semua beban ini untuk sehari saja. Sehari hanya aku dan
adrenalin yang terpacu. Malam itu aku peluk erat helmku. Malam ini aku tak
ingin bermimpi tentang dirimu, sudah cukup kacau semuanya dengan keputusanmu,
keputusan orang tuamu, keputusan temanmu, sekarang biarkan keputusanku yang
mengambil alih.
Aku terbangun pagi itu
sekitar pukul 5 pagi dan dilanjutkan dengan ibadah pagi yang wajib bagi kaumku
untuk menjalankannya. Mata yang masih berat karena berjuang untuk menjadi saksi
hidup gelaran pertandingan piala dunia semalam masih membebani. Tak lama aku
pun kembali menutupkan mata sampai akhirnya ada sekitar 15 pesan masuk di
handphoneku. Yah teman – teman sudah bersiap – siap rupanya. Aku teringat tas
carrierku yang masih ada di salah seorang adek kelasku. Bukan karena tak
percaya, hanya saja ketika barang – barangku dipinjam, hampir 50% tidak
kembali. Hal seperti itulah yang menyebabkanku untuk kurang percaya jika harus
meminjamkan barang – barangku pada para peminjam untuk waktu lama.
Oke sudah siap
semuanya, barang – barangku sudah berada di dalam tas. Teman – teman sudah akan
berangkat menuju rumahku. Tidak lama dia mengirimiku sebuah pesan. Yah, dia
memang sudah positif untuk pergi ke madakaripura bersama teman – temannya.
Semudah itu bukan jika bersama mereka? Semudah itu bukan untuk mendapatkan
ijin? Hilmi, adek kelasku yang meminjam tas carier dariku akan mengembalikan ke
rumahku. Bersama dia juga tentunya. Bersama temannya yang lain pula. Mereka
berhenti di depan rumahku, mengembalikan tas, aku hanya meliriknya. Yah masih
sedikit sakit hati. Iri mungkin. Tapi beginilah, hal pembeda antara aku dan
teman – temannya. Bagaimana perasaan lebih baik mereka itu begitu menyiksa.
Bagaimana ketika aku yang mengajak tidak segampang mereka yang mengajak. Aku
kalah. Entah, aku malas memikirkannya.
Tak lama ketika mereka
dan dia pergi usai memberikan tasku. Sebuah mobil jeep datang. Berisi ketiga
temanku yang gokil. Aku kenalkan, rizal seorang atlit mountain bike yang
sekarang masih aktif merupakan bos gengnya. Yah aku meminjam sepeda darinya.
Tentu saja aku tidak memiliki sepeda sendiri. Sepeda lamanya yang aku pakai,
setidaknya itu merupakan akomodasi darinya karena mengajakku. Hehehe. Kemudian
ada didit dan kiki, mereka bersaudara, adik kakak. Kakaknya didit sekarang
menjadi seorang tentara di bali. Bukan hal yang mengagetkan dan bahkan dia
sendiri mengucapkan betapa tidak bangganya ketika masuk dengan membawa 100
juta. Yah itu masalah yang berbeda dan sedangkan adiknya, kiki sekarang atlet
triathlone dan bersekolah di SMA 3 Lumajang. Yah merekalah teman – teman
lamaku. Mereka, sebuah mobil dengan 4 sepeda yang ditaruh diatasnya dan
perlengkapan yang aku bawa menjadi modal untuk petualanganku selanjutnya.
Baca juga
http://anadventureinmylife.blogspot.com/2014/06/kecewa-mari-downhill-part-2.html
Baca juga
http://anadventureinmylife.blogspot.com/2014/06/kecewa-mari-downhill-part-2.html
Komentar
Posting Komentar