Ekspedisi Atap Jawa Tengah Mt. Slamet (Part 3 - Pulang dengan Slamet)
Malam itu udara tidak terlalu
dingin seperti yang aku duga. Sempat gerimis atau mungkin hujan di luar tenda
kami selama waktu tertentu. Aku melihat hanya gelap malam dari lubang bagian
atas tendaku dan flaysheet plastik bening tembus pandang. Malam di gunung tak
sesunyi dulu, kini banyak manusia – manusia yang membawa kotak musik. Entah apa
maksudnya tapi terkadang itu cukup mengganggu waktu tidurku.
PART 2 Klik me!!
Sejenak rasanya aku tidur. Badan
ini sangat ringan dan yang menembus tenda bagian atas ku buan lagi selimut
kegelapan. Tampak bulat, bercahaya. Ah gelap malam terpecah terang. Awan tak
nampak menutupi rembulan. Ketika aku membuka handphone untuk melihat jam? Wow
jam setengah 5 pagi dan pantas saja badan ini rasanya sangat ringan pagi itu.
Aku pun segera membangunkan mas fachrul untuk bergerak menuju summit. “mumpung
cuaca cerah mas”. Begitu kataku pagi itu dengan bersemangat. Mengingat kondisi
waktu yang terus menghimpit perjalanan kami, ini adalah satu – satunya
kesempatan kami untuk mencapai puncak slamet pada ekspedisi ini. Apabila hari
ini gagal, maka berakhirlah ekspedisi slamet kali ini tanpa menginjakkan kaki
di atap jawa tengah itu.
Persiapan OK. Senter OK. Sepatu
Aman. Kamera dan Handphone Ready. Kami pun berangkat berjalan menuju puncak.
Tanpa membawa tas besar, perjalanan ini lebih ringan daripada sebelumnya.
Beberapa pendaki pun tampak ada di depan dan belakang kami. Semuanya berusaha
memanfaatkan momen “cerah” ini untuk mencapai summit hari itu. Tak beberapa
lama pun kami sampai akhirnya di pos 6 yaitu samyang rangkah. Namun disini
tidak terlalu luas dan vegetasi mulai berkurang. Kemudian dilanjutkan lagi
menuju pos 7 yang menjadi batas camp terakhir. Karena setelah pos 7 tidak direkomendasikan menjadi tempat camp
yang karena salah satunya faktor keamanan.
Samudra Awan |
Pada pos 7 ini banyak terdapat
tenda. Tidak jauh dari pos 7 barulah ada pos 8 yang bernama Samyang Jampang.
Ketika kami sampai disini, masih ada beberapa tenda yang berdiri pada pos yang
sebenarnya tidak direkomendasikan untuk mendirikan tenda ini. Kami sempat
bertemu dengan anak – anak SMA yang naik dan kami pun menuju puncak bersama.
Sedikit ragu ketika sampai di pos 8 dan melihat ke atas sedikit berkabut
ternyata bagian puncak. Namun terlihat matahari masih bersinar cukup cerah dan
kemudian kami memberanikan diri untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak.
Di pos 9 atau plawangan merupakan
batas no return dari gunung slamet. Kalau di gunung semeru sih namanya kelik.
Batas dimana didominasi oleh pasir dan sama sekali tanpa tumbuhan. Ketika badai
terjadi ketika anda berada setelah batas ini, maka sangat susah untuk kembali
sehingga semua persiapan dan kesiapan serta perencanaan perjalanan harus
dilakukan sedetail dan se amannya. Kasus kali ini tidak seperti gunung semeru
yang aku sudah menanjak berkali – kali, aku memutuskan untuk menembak titik
dengan GPS Garmin yang aku bawa. Setidaknya ketika ada kemungkinan terburuk aku
sudah mengetahui titik yang harus aku kejar ketika turun maupun ketika nantinya
berbelok dari arah jalur pendakian.
Jalur pendakian gunung slamet
menuju puncak tidak didominasi pasir kecil seperti pada gunung semeru maupun
gunung merapi. Lebih banyak batuan lepas dan cadas dengan dominasi warna
oranye, kuning, dan bahkan kemerahan. Selain itu masih banyak sekali batuan
yang mudah tergelincir kebawah dan membahayakan pendaki yang berada di
bawahnya. Sehingga selain kita harus lebih berhati – hati, kita juga harus
tetap waspada. Dihajar tanjakan terjal ini kami akhirnya bisa menikmati sunrise
walaupun masih belum sampai di puncak. Namun ya sudahlah sembari terus berjalan
ke atas dan sesekali melihat keindahan sunrise gunung slamet, kami memacu kaki
kami mengejar ketinggian sebelum terkejar oleh cuaca yang mungkin bisa berubah
tiba – tiba.
THE SUMMIT 3428 MDPL
Sebelum sampai puncak ada sebuah
area datar. Disini kami harus berjalan sedikit lagi hingga sampai di puncaknya.
Kemudian dari puncak ini sudah terlihat kawah segoro wedhi yang menjadi ikon
puncak gunung slamet. Dari puncak tadi kita harus turun dulu dengan jalanan
terjal hingga kembali datar. Kemudian sedikit menanjak dengan jalan yang
didominasi batu batu. Hingga akhirnya kita sampailah di kawah segoro wedhi yang
sangat luas. Cukup lama kami disana, berfoto dan menikmati keindahan alam
puncak dan sekaligus atap jawa tengah. Menjadi puncak tertinggi di pulau jawa
setelah puncak mahameru. Asap kekuningan terlihat terus membubul dari arah
kawah dengan diselimuti awan awan yang tampak mulai kurang bersahabat.
Samudra Awan (posisi Hampir puncak) |
Disini banyak sekali pendaki yang
sembari berjalan dengan kami sampai di puncak hampir bersamaan dengan kami
berdua. Rombongan pendaki yang berjalan sangat cepat dengan membawa carrier
tinggi pun sampai di puncak hampir sama dengan kami. Begitu pua dengan anak –
anak SMA yang berjalan bersama kami pun sampai pada saat yang hampir sama.
Ketika angin berhembus dan kawah mulai tertutupi awan, kami berdua pun
memutuskan untuk turun dulu. Mengingat cuaca yang cepat berubah dan malam ini
kami harus sudah sampai di bandung karena keterbatasan waktu yang ada.
Perjalanan turun menuju bawah
lebih cepat tentu saja. turunan berbatu seperti ini lebih berbahaya daripada
turunan pasir seperti yang ada pada gunung semeru. Sekali jatuh? Ah pasti akan
menjadi musibah besar sehingga daripada terlalu terburu – buru dan membawa
resiko yang besar, lebih baik perlahan saja sambil meikmati pemandangan yang
ada. Sepanjang perjalanan kami turun masih saja ada dan bahkan masih terbilang
banyak pendaki yang masih berusaha untuk sampai di puncak. Sempat mengobrol
beberapa memang karena kesiangan, beberapa karena terlalu lama berhenti
sehingga belum sampai di puncak. Dengan sisa waktu yang ada tentu saja mereka
harus bergerak dengan lebih cepat karena cuaca juga sudah mulai berubah dengan
cepat.
Hanya membutuhkan waktu sekitar
satu jam dan bahkan tidak sampai jika kami berdua tidak terlalu lama berhenti
kami sudah sampai di tenda kami. Segera memasak dan beristirahat sejenak untuk
selanjutnya langsung turun menuju pos basecamp dan berkendara lebih dari 200 km
menuju bandung. Tidak perlu menunggu lama, kami berdua pun akhirnya berkemas
dan meluncur turun. Pas ketika berkemas, hujan mengguyur. Barang sudah aman di
dalam tas dan badan sudah terbalut dengan jas hujan plastik. Yah seadanya saja
kami pun meluncur.
Kondisi hujan ini adalah kondisi
yang cukup susah dalam melakukan trekking. Selain licin karena tanah yang
bercampur dengan air, faktor otot yang cepat dingin juga menambah kemungkinan
terjadi kram otot sehingga dapat menghambat. Selain itu basahnya pakaian juga
bisa menambah kemungkinan tubuh mengalami hipotermia. Setelah perjalanan puncak
yang melelahkan, jalanan turun dan diguyur hujan, kakiku akhirnya mengalami
linu. Berawal dari kaki yang sudah semakin sakit menahan setiap turunan yang
ada. Satu lompatan dua lompatan tiga lompatan, berubahlah sakit dengkul ini.
Hujan yang semakin lama semakin deras juga semakin menyulitkan untuk melangkah.
Melewati pos 3 jalan sudah
semakin tidak masuk akal saja. jalur pendakian yang tersusun dari lempung dan
pasir itu berubah menjadi anak sungai kecil yang mengalir dengan deras dari
atas. Air hujan berkumpul menjadi satu ketika derasnya hujan mengguyur siang
itu. Tak peduli sepatu water proof maupun sepatu boot pasti akan basah juga
dengan kondisi hujan seperti ini. Mantel plastik pun tidak lagi berguna sesuai
fungsinya. Hanya sebagai penambah perangkap hangat selama berjalan. Kami bahkan
harus terpeleset beberapa kali dan untuk turunan yang terjal atau harus
melompati batu, dengan kondisi kaki dan cuaca serta jalan yang licin beberapa
kali kami harus berjongkok untuk menghindari terpeleset atau kemungkinan yang
tidak diinginkan lainnya.
SUNGAI YANG MELUAP
Kami berjalan bersama beberapa
rombongan lain. Rombongan ini sempat kami dului dan sama sama berjalan turun.
Sekitar 2 rombongan lain dengan jumlah yang lebih dari 5 orang pada masing –
masing rombongan berjalan bersama kami menembus hujan deras yang tak kunjung
reda. Pada rombongan tersebut ada beberapa cewek yang cukup liar juga pada
kondisi hujan ini dia memutuskan untuk buka sepatu. Kami sempat berjalan
bersama sampai akhirnya melewati tiba di pos 1.
Di pos 1 hujan masih sama seperti
sebelumnya. Pada informasi sebelumnya, terdapat sungai kecil yang meluap
apabila hujan setelah pos 1 apabila dari arah atas menuju ke bawah. Ketika
berangkat kemarin pun kami sempat melewati sugnai kecil tersebut dan airnya
masih sangat kecil. Dengan hujan sederas ini secara teori hidrologi tentunya
akan membuat sungai kecil tersebut akan meluap. Karena rombongan lain masih
beristirahat di pos 1, kami berdua memutuskan untuk melanjutkan perjalanan
terlebih dahulu dan sesuai prediksi, kami kesulitan melewati sungai kecil yang
saat itu sudah meluap menjadi besar. Dengan aliran deras dan suara menggemuruh,
secara teori dan kepastian sih aku yakin kami berdua mampu melewatinya. Tapi
membayangkan cewek – cewek di belakang kami? Pastinya mereka akan kesulitan
menyebrangi sungai tersebut.
Keputusan karena terhambat sungai
ini akan menjadi pertaruhan. Ketika cewek – cewek tersebut memutuskan untuk menyebrangi
tanpa pengaman tentunya sedikit beresiko apalagi panik ketika terhantam arus
yang keras. Pilihan selanjutnya adalah menunggu sungai mengecil debitnya, tapi
tentu saja membutuhkan waktu yang cukup lama. Sesuai teori hidrologi debit
sungai tidak akan turun begitu cepatnya ketika hujan berhenti. Ketika hujan
berhenti debit sungai akan turun tapi tidak signifikan sehingga akan
membutuhkan waktu yang cukup lama. Hehehe maklum anak Teknik Pengairan.
So? Plan ke 3 adalah kami
memutuskan menunggu dan menggunakan webbing yang dibawa oleh mas fachrul. Yah
walaupun over all mas fachrul termasuk pendaki yang membawa perlengkapan minim
-- tapi mbak mbak tersebut harus banyak berterima kasih pada mas fachrul.
Ketika semua rombongan berkumpul di pinggir anak sungai tersebut, tiba tiba
seorang cowok bernisiatif menyebrang dengan merunduk. Yah sedikit nekat
menurutku karena kurang safety, namun karena dia bertubuh jangkung, sungai
tersebut terlewati hanya dalam 4 langkah panjangnya dan dia pun sampai di
seberang. Kemudian aku lempar satu ujung webbing ke dia dan ujung lainnya aku
pegang (tidak ada kayu atau batu untuk mengikat). Sedikit nekat tapi lebih baik
daripada tidak sama sekali.
Satu demi satu rombongan tersebut
melewati sungai yang mengganas itu. “kaki arahkan sejajar dengan arah air”
begitu ucapku pada setiap orang yang akan menyebrang. Kenapa? Ini mah teori
hidrolika, semakin kecil penampang maka semakin kecil pula tekanan airnya.
Hehehe the power of pengairan nih. Terakhir aku yang menyebrang dan sampai lah
di seberang. Sembari menggulung webbing tersebut, kami pun berjalan pelan. Yah
kaki sudah hampir sampai batasnya. Beberapa kali bahkan aku harus menyeret
kedua kakiku. Selain itu sepatu yang telah semakin berat karena air juga
memberi tekanan sendiri.
Pukul 15.00 WIB kami sampai di
basecamp bambangan. Beristirahat di warung, makan, dan packing sebentar.
Selanjutnya kami pun berangkat pulang ke bandung dengan motor dan sisa waktu
serta tenaga yang tak lagi banyak. Ah biarlah, setidaknya terbayarkan tuntas
dengan puncak yang luar biasa. Tamat
"all broken parts will grow stronger than before. before it grows, the part will be very painfull, to see, to walk, to run, to sleep, even to breathe. thats how broken heart work."
PART 1 Klik me!!PART 2 Klik me!!
Komentar
Posting Komentar