5 Orang Lagi sampai puncak (BEROX In the hoy) Part 3


            Kami berhenti sejenak disana karena Roni tiba – tiba bertanya apa aku bawa korek? Busyeet, bukan main paniknya karena seingatku aku lupa membawa korek, dan tanpa korek kompor trangia yang kami bawa tak akan berfungsi. Kemudian aku teringat bahwa waktu itu aku pernah memasukan sebuah korek ke dalam trangia. Langsung aku buka tasku dan aku buka trangianya. Dan syukur, tuhan masih bersama kita dan menyelamatkan kami. Sebuah korek berwarna biru terselip di dalamnya. Kami sangat lega dan kemudian melanjutkan perjalanan.
            Masih saja nama al amri di beberapa batu masih menemani perjalanan kami. Aku terus mengukur jalur ini membawa kami lebih ke kiri gunung, tetapi nama al amri yang mengiringi masih saja menjadi hal yang menguatkan hati kami. Kemudian kami mulai lagi perjalanan, kini jalanan mulai sulit dan yang anehnya, rumput di bawah kami masih tergeletak hijau, menandakan jalur yang baru saja dibuka. Aku semakin tidak yakin dengan jalur yang kami lewati ini.
            Setengah jam kami berjalan dan kami berada di sebuah tempat dimana jalan sudah tidak ada lagi. Menurut kemiringan yang aku ukur, kita sudah mulai mendaki gunungnya dan sedangkan watu gede tepat di bawah kaki gunung dimana seharusnya belum mencapai kemiringan ini. Kami berdiskusi sejenak mencoba mengerti apa yang terjadi. Jelas jalur ini jalur yang baru dibuat, tapi pertanyaan besar kenapa di awal tanda jejak itu sudah terpasang? Jika ada pendaki seperti kita, berapa banyak yang akan salah jalan seperti kita? Memang membingungkan, kemudian kami memutuskan untuk kembali karena jalan sudah berhenti dan terpotong di tempat itu.
            Masalah baru datang juga. Gahtan kurang bisa menjaga keseimbangannya ketika turun sehingga berkali – kali dia jatuh. Aku memutuskan untuk membawakan tasku yang dibawa olehnya walau sudah membawa carrier miliknya. Tetapi Gahtan masih saja terus menerus jatuh, Tesa menyimpulkan mungkin dari sepatu yang dia pakai karena memakai sepatu futsal. Sehingga Tesa memutuskan untuk bertukar sepatu dengannya. Roni masih saja mengutak – atik hapenya. Memang kelebihan gunung ini yang menghadap langsung ke kota Lumajang menyebabkan masih adanya singal di gunung ini, sehingga Roni masih sempat update status di Facebook kalau dia lagi tersesat. Dasar ALAY.. -,-
            Akhirnya kami sampai di daerah datar dimana kami menemukan jejak pendaki dan nama al amri yang kami temukan sebelumnya. Sambil beristirahat, aku mencoba naik ke sebuah bukit disamping tempat kami beristirahat, saat itu memang sudah mulai gelap karena sudah pukul 17.30. Aku menyorotkan lampu senter ke sekitar, clap clap, sebuah sorot lampu senter lain membalas sorotanku. Aku membuat kesimpulan bahwa watu gede ada disana dan yang membalas sorotan lampuku adalah pendaki lain yang mungkin berada di watu gede. Dhimas dan Anshor ternyata ikut naik bukit dan melihat balasan lampu senter mereka. Akhirnya sebuah kembang api melesat dari arah lampu sorot itu.
            Kami pun turun untuk berdiskusi kembali. Aku mencoba menawarkan 3 pilihan yang mungkin kita lakukan, yang pertama, kita buat camp saja disini dan beristirahat disini, kapan – kapan saja atau lain waktu saja kita naik gunungnya, atau kita bisa kembali ke pertigaan yang menyesatkan tadi kemudian kembali naik tetapi dengan catatan, resiko kita kelelahan dan kehabisan bekal akan semakin tinggi dan dengan kondisi Gahtan aku tidak menyarankan pada mereka cara yang satu ini. Kemudian yang terakhir aku menawarkan potong kompas tanpa kompas, hanya berjalan lurus sampai menemukan jalur satunya dengan cara berjalan ke arah lampu senter yang sebelumnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menyusuri Lembah Shosenkyo, Jungle Track, Air terjun, dan Rope Way

Kawaguchiko, Fuji, dan Momiji

Mengapa Analisa Keruntuhan Bendungan Cirata dan Jatiluhur Begitu Kompleks? Bahkan Bisa Membutuhkan Ratusan Skenario yang Perlu untuk Dimodelkan