Ekspedisi Trio Arjuna Part 4 (Dari Pucuk Hingga Bawah)


Senin 14 Oktober 2013 Menuju Welirang

Sunrise di Pondokan

          Pagi itu aku terbangun mendengar suara tawa dan berisik tenda di sebelah tenda kami. Kurasakan kakiku dan bahuku yang semalam telah berjuang mendaki puncak arjuna, kini sudah lebih baik. Kulihat Purwo dan Khafidz yang masih tertidur lelap. Tak tega melihat mereka berdua yang pastinya kelelahan dengan apa yang terjadi semalam. Aku pun keluar tenda, matahari baru saja muncul. Di sebelahku ada sekitar 4 tenda milik pendaki lain dan salah satunya sedang bercanda satu sama lain.
          Saat itu sekitar pukul 06.30 WIB dan rasa lapar karena semalam belum terisi makanan sama sekali menjadi masalah baru. Aku pun mengeluarkan kompor dan mulai mempersiapkan memasak ketika tiba – tiba Purwo terbangun. Akhirnya dia memutuskan untuk membantu memasak. Kami mulai dengan memasak beras yang dibawa oleh Purwo. Cukup banyak memang yang dibawa dan gilannya, kami masak semua dalam 2 panci yang kami bawa. Sambil menikmati makanan ringan yang kami bawa kami menunggu beras berubah menjadi nasi.

Menu Masak - masakan :D

          Entah karena faktor apa, tetapi tak semua beras yang kami masak matang. Mungkin hanya 80% matang hingga masih ada beberapa butir nasi masih berbentuk beras, Mendengar kegaduhan ini, Khafidz akhirnya terbangun. Kemudian kami memasak sarden serta tambahan Mie sebagai penyedap nasi kami yang tidak begitu matang. Yah kacau banget deh. Seperti anak kecil yang main masak – masakan, tetapi bedanya kami makan apa yang kami masak dengan ketawa terbahak – bahak. Hahaha.
          Sambil makan, kami berdiskusi, aku mengajak mereka untuk naik welirang yang jarak tempuhnya Cuma 2 jam. Akan tetapi Purwo menolak karena menurutnya dia kurang tidur dan kondisinya sedang kurang baik. Awalnya terus aku paksa, tetapi karena dia tetap tidak mau dan dialah yang mengerti kondisi dia sendiri, akhirnya aku mengiyakan saja keputusannya. Aku dan Khafidz pun memutuskan untuk tetap berangkat sedangkan Purwo beristirahat di dalam tenda untuk persiapan perjalanan pulang kembali ketika kami telah kembali ke tenda usai dari Puncak Welirang.
Pria Punya Selera :D

          Seperti sebelumnya, aku dan Khafidz bergantian membawa tas dan kali ini untuk sekian kalinya, aku bagian berangkatnya. Perjalanan pun kami mulai. Jalan yang kami tempuh kali ini cukup lebar dan hanya saja sangat berdebu. Oleh karena itu aku memutuskan untuk mengenakkan masker sehingga debu tudak sampai masuk ke pernafasan. Jalanan ini memang jalanan yang biasa digunakan oleh para penambang mengambil belerang di kawah Welirang. Sehingga cukup nyaman meskipun di beberapa tempat kemiringannya hampir sama ketika mendaki gunung Arjuna.
          Seperti biasanya, kami sesekali berpapasan dengan pendaki lain. Hanya saja sedikit berbeda kali ini. Aku mengamati pendaki yang juga mendaki dan berpapasan dengan kami tampak tidak 100% pendaki. Beberapa berpenampilan lebih seperti tidak sedang mendaki gunung. Bukan keselamatan yang diutamakan oleh beberapa orang yang sedang berpapasan dengan kami berdua ini. Ada yang menggunakan sepatu bermain yang tentunya lebih licin karena tidak ada alas yang mampu berpijak pada medan seperti ini. Beberapa kali mereka kuamati sedang terjatuh kemudian ditolong oleh temannya. Yah mau gimana lagi, salah mereka sendiri sih gak mempersiapkan dengan benar.

Sandalku :D
          Memang tak lama sampai tanah yang kami pijak sedikit berwarna keputihan. Entah mengandung kapur atau belerang, tetapi yang jelas, kami semakin dekat menuju puncak welirang. Yang aku lakukan hanyalah terus mengikuti pita merah putih yang menjadi petunjuk jalan menuju puncak gunung welirang dan sampailah kami berdua pada sebuah goa yang konon, pernah menjadi tempat penangkaran Kijang. Yah begitulah yang aku baca di internet sebelum berangkat ke kawasan ini.
          Di gua tersebut, kami berdua bertemu dengan mas – mas dan mbak mbak yang kami temui di daerah sebelum pos pondokan. Mas – mas dan mbak – mbak yang tergabung dalam backpacker Indonesia. Kami pun kembali berbincang dan sedikit berfoto – foto. Ternyata mereka telah sampai di puncak welirang dan hendak turun menuju pos Pondokan lagi. Kami pun berpisah disana karena kami berdua harus segera melanjutkan perjalanan menuju puncak.
          Semakin dekat dan semakin dekat, tampak pula beberapa pendaki lain yang sedang berfoto di puncaknya. Aku dan Khafidz pun bergegas menuju puncaknya. Jalanan kembal berbatu dan terkadang disela – sela batu tersebut terdapat lubang yang mengeluarkan asap sesekali. Banyak pula belerang – belerang disini yang baunya sangat menyengat. Kami berdua pun harus hati – hati karena banyak lubang pula seperti bekas kaldera gunung yang telah mongering.
          Akhirnya kami sampai di tempat orang – orang tersebut, dan ternyata itu bukan puncaknya yang sejati, ada sebuah tempat dengan bendera dimana itulah puncak yang asli, tetapi jarak dan medannya untuk kesana cukup menakutkan dan jauh. Sehingga kami berdua memutuskan untuk tidak kesana, toh sama – sama sudah diatas. Pada gunung welirang ini, asap mengepul justru dari arah sedikit samping dari gunung ini, sedangkan Kaldera yang ada diatasnya sedikit mengeluarkan asap dan kering. Entah apa yang terjadi, tetapi ini adalah fenomena alam yang sangat menarik.
Ada di Goa nih

          Kami pun melanjutkan dengan berfoto – foto ria. Menikmati indahnya puncak welirang. Terlihat pula di belakang kami gunung Arjuna yang pada hari sebelumnya telah kami daki. Aku lihat sandal gunungku, kali ini ada sebuah sobekan besar yang ada pada sol di dekat talinya. Mungkin sudah waktunya sandal gunungku ini pension. Sudah 7 puncak aku taklukan bersama sandal gunungku tercinta ini. Mulai dari Gn. Lamongan, Gn. Bromo, Gn. Argopuro, Gn. Semeru, Kawah Ijen, Gn. Arjuno dan Gn. Welirang, kesemuanya aku daki dengan sandal gunung ini. Satu hal yang lebih setia dan tangguh dari kesemua dunia cinta yang pernah kugapai.
          Pukul 12.14 WIB kami berdua turun dari indahnya puncak welirang. Mengingat kami harus segera turun, mengejar hari esok adalah hari besar, hari raya idul adha. Kami hanya berharap masih sempat menikmati hari tersebut bukan di gunung. Memang menyenangkan berada di gunung, tetapi terdapat sisi kehidupan lain yang mengharuskan kami pulang, itulah sisi kehidupan pendaki gunung.

Puncak Welirang
 
Puncak Welirang

  
Yuangga dan Khafidz
Kami Pulang,,
        Perjalanan turun lebih cepat daripada perjalanan naiknya. Dan tentu saja, pukul 13.28 WIB kami sudah menemui Purwo yang kala itu sedang memasak mie untuk makan siangnya. Aku dan Khafidz pun segera memasak juga karena perut sudah cukup keroncongan meminta diisi sambil kami yang harus turun setelah beristirahat sejenak disini. Pendaki lain sudah banyak yang meninggalkan pos pondokan, entah apa mereka menuju Arjuna? Atau Welirang? Atau bahkan mereka sudah turun, tetapi keempat – empatnya tenda disamping tenda kami kini telah hilang. Setelah semua persiapan dan kami selesai mengepack perlengkapan juga tenda kami, kami pun berangkat menuju rumah.
          Perjuangan turun adalah perjuangan kita menahan tekanan yang ada di lutut. Apalagi medan yang ada adalah medan dengan jalanan bebatuan yang pastinya sangat menguras tenaga. Kini untuk turun adalah spesialis untuk Khafidz, bagaimana tidak? Dia memiliki kecepatan turun yang luar biasa cepat daripada kami berdua. Tetapi kami berdua pun tidak kalah. Sambil bercanda dan bergurau, kami terus turun menuruni medan tersebut dengan sangat cepat.
          Ketika kami hampir sampai di Pos kokopan, kami melihat sesosok seperti manusia, hanya saja hitam. Sosok itu bergerak kea rah semak – semak. Sambil sedikit merasa gugup, kami bertiga memeriksa sosok tersebut. Alhasil sosok tersebut ternyata seekor monyet hitam yang cukup besar. Sambil tertawa kami kembali bergurau, aku memanggil monyet tersebut dengan Khafidz. Bukan main kagetnya ketika monyet tersebut melompat ke arah kami dan sepertinya mengejar kami, kami pun berlari tak karuan menuruni jalanan tadi. Akhirnya kami berhenti untuk mengambil nafas ketika merasa monyet tersebut tidak lagi mengejar kami. Sungguh hal yang mendebarkan ketika harus berurusan dengan si Khafidz dari alam liar ini. Hahahaha

Khafidz di Pos Kokopan

Purwo di Pos Kokopan

          Sampai di Pos kokopan sial banget ternyata sekarang giliran perutku yang gak mau kompromi. Akhirnya aku mengeluarkan beban perutku sambil teman – teman beristirahat. Ada sebuah kejadian lucu, yaah tapi rahasia aja deh, males kalau diceritain disini. :P hahahaha. Pokoknya ceritanya lucuuu banget deh. Setelah mengisi air perjalanan kita di sumber air di pos kokopan yang konon rasanya seperti rasa air aqua, kami melanjutkan perjalanan.
          Kami akhirnya sampai di Pos pendaftaran pada saat maghrib berkumandang, setelah membersihkan diri dan check out, kami pun pulang kembali ke kota Lumajang, hanya saja sedikit berbeda, kali ini kami melaluiarah malang, kemudian kita kea rah Lumajang langsung tanpa perlu oper – oper banyak kendaraan umum. Dan begitulah, dalam perjalanan pulang, aku bermimpi, bermimpi semua kegiatan dan petulangan menyenangkan kami, benar – benar menyenangkan. Kami berhasil, kami sukses, karena kami adalah “TRIO ARJUNA”.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menyusuri Lembah Shosenkyo, Jungle Track, Air terjun, dan Rope Way

Kawaguchiko, Fuji, dan Momiji

Mengapa Analisa Keruntuhan Bendungan Cirata dan Jatiluhur Begitu Kompleks? Bahkan Bisa Membutuhkan Ratusan Skenario yang Perlu untuk Dimodelkan