Langsung ke konten utama

Malam Minggu Kawah Ijen (Sebuah Perjalanan Singkat dari Pulau Bali menuju Puncak Kawah Ijen untuk ke 4 kalinya)

Dipelabuhan aku kembali termenung. Tampak awan hujan sudah mulai menguasai bagian paling timur di tanah Jawa itu. Sedikit keluar jalur, aku banyak berkhayal sewaktu kecil ketika disodorkan peta pulau jawa oleh salah satu kerabatku. Salah satu momen mengapa aku sangat penasaran dengan berbagai tempat di dunia. Aku yang waktu itu kecil dan sering sakit – sakitan karena ketidak laziman proses kelahiranku itu merasa sudah tau tentang luasnya dunia dengan secarik peta tentang pulau jawa. Berpetualang di dalam imajinasi seorang bocah yang bahkan menangis apabila kalah bermain layang – layang. 18 Tahun kemudian lihatlah aku, yang mulai merindukan masa itu. Ombak di selat bali ini tidaklah terlalu besar, namun air hujan mulai menetes dan memaksaku untuk masuk ke dalam kapal. Melihat gelombang yang semakin besar semakin dekat. Seiring besarnya gelombang, pandangan di yang aku lihat dari kaca kapal pun mulai memburam tertutup oleh butiran air. Suasana yang mirip dengan sebuah kenangan bukan. Semakin dewasa akan membawamu ke pada lautan dengan ombak yang makin besar. Satu demi satu kaca itu akan semakin buram.

Satu hal yang unik dari penyeberangan dari Ketapang – Gilimanuk atau sebaliknya adalah dimana kita bisa memilih kapal yang digunakan. Kapal bagian tengah dermaga lebih bagus namun lebih cocok apabila tidak membawa kendaraan karena masa berlabuh yang relatif lebih lama dan apabila pada kondisi yang kurang menguntungkan, maka kita dipaksa menunggu hingga satu jam lebih untuk kapal berlabuh karena harus mengantri untuk bersandar. Beda lagi dengan kapal bagian samping yang merupakan tipe kapal tongkang sehingga ujung kapal dihempaskan langsung ke bibir pantai yang telah diberi perkuatan dan bantalan pada bagian bawahnya. Aku memilih kapal jenis ini karena tidak ada waktu tunggu dalam berlabuh.

Penyebrangan Gilimanuk - Ketapang

Di dek bagian bawah kami sudah menunggu dengan mengenakan mantel karena diluar sudah mulai deras. Kapal bergoyang dengan cukup keras karena ombak ketika hujan dan angin seperti ini sedikit lebih tinggi dari biasanya. Box di belakang motorku memberikan beban tambahan sehingga ketika ada gelombang yang menghantam kapal dari arah samping, salah satu kakiku harus sudah bersiaga mempertahankan momen berat motorku + beban yang aku bawa. Ketika kapal secara perlahan sampai di bagian pantai dan pintu telah menyentuh daratan, semua kendaraan segera dipacu untuk segera keluar dari pelabuhan. Tidak perlu terlalu antri untuk turun apabila memilih kapal dengan jenis ini. Selanjutnya aku dan pak Sukaji terpisah, rumahnya memang tidak terlalu jauh dari pelabuhan. Sedikit ditepi pantai dengan pabrik semen sebagai acuan untuk rumahnya. Mungkin nanti ketika lebaran aku akan menghampirinya. Kali ini perjalananku masih cukup jauh.

 Cukup banyak orang yang pulang pergi dari pulau bali kembali ke pulau jawa. Entah dimanapun mereka bekerja, ada beberapa dari mereka yang bekerja kemudian di akhir pekan menghabiskan waktu bersama dengan keluarga mereka. Mengorbankan sekitar 6 jam waktu tempuh untuk pulang pergi, harga yang murah rasanya untuk berkumpul dengan keluarga dengan kondisi seperti itu. Saat di kapal pun aku melihat dan merasakan antusiasme orang orang ketika kapal akan berlabuh, dengan sedikit tergesa gesa memasang mantel karena hujan sudah mulai mengguyur.

 Perjalananku pun dimulai, kali ini sendirian, seperti biasanya. Hujan masih cukup deras dan aku masih memacu motorku dari arah pelabuhan menuju jantung kota Banyuwangi. Ada beberapa barang yang perlu aku beli karena kali ini aku tidak membawa bahan makanan apapun serta tidak berniat membawa kompor maupun peralatan memasak lainnya. Jadi makanan cepat saji menjadi alternatif utama untuk mengisi perut. Motor oranye dengan box hitam pun akhirnya mulai menapaki elevasi yang lebih tinggi.


"Chapter I - Paltuding dengan Semua Nostalgia yang Dibawanya"

Jalur menuju pos paltuding sebenarnya bisa diakses dari beberapa pertigaan yang ada di sepanjang jalan menuju kota Banyuwangi jika anda memulai perjalanan dari arah pelabuhan atau mungkin Taman Nasional Baluran jika ini akan menjadi trip panjang menikmati ujung timur pulau Jawa. Lebih baik aku jelaskan sedikit tentang pos Paltuding ini karena ini adalah kali ke 3 aku mendaki gunung Ijen. Jadi pos paltuding ini merupakan pos bagi penambang Belerang untuk mengumpulkan belerangnya. Yah karena gunung ijen merupakan gunung yang menjadi tempat atau lokasi untuk penambangan belerang dan masih dilakukan secara konvensional dengan pemasangan pipa yang selanjutnya terjadi proses kondensasi dari belerang gas menjadi cair dan selanjutnya mendingin dan menjadi padat. Selain menjadi lokasi untuk pengumpulan belerang, pos Paltuding juga menjadi pos resmi awal pendakian untuk mereka yang ingin menikmati pendakian sejenak gunung Ijen.

 Jalan akses pun terbilang cukup lebar apabila anda berangkat dari arah kota banyuwangi. Seluruh pertigaan yang ada akan menjadi satu  jadi pilih jalan manapun akan sampai pada tujuan. Ditambah dengan mudahnya aplikasi penunjuk jalan berbasis GPS tentunya sangat mudah untuk mencapai lokasi tujuan. Sejujurnya beberapa kali aku menuju dan mulai mendaki gunung ijen keseluruhannya menggunakan kendaraan pribadi sehingga informasi untuk menuju ke lokasi dengan menggunakan angkutan umum aku sama sekali tidak memiliki informasinya dan sepertinya tidak ada. mungkin jika melalui agen perjalanan bisa lebih memungkinkan untuk menuju pos Paltuding. Aku memilih melalui pertigaan di dalam kota karena aku membeli bekal untuk makan siang terlebih dahulu. Disana memang banyak tersedia tempat makan dan warung namun aku mengejar sampai lokasi sebelum gelap sehingga aku menyimpannya sebagai makan siang yang aku makan ketika sampai disana. Kemungkinan sih sudah petang karena kondisi cuaca juga sudah mulai hujan.

Pemandangan Berkabut Pos Paltuding

Berhenti sejenak di Minimart untuk membeli beberapa hal lain kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke atas. GPS ku masih menyala di motorku dan aku ditemani hujan yang cukup deras sembari memacu motorku naik meter demi meter elevasi menuju pos paltuding. Tidak terlalu ramai walaupun ini malam minggu sebenarnya, yah mungkin karena cuacanya yang sedang hujan, kebanyakan pendaki lokal juga memilih perjalanan malam hari sehingga mereka tidak perlu sampai membuka tenda. Berbeda dengan tujuanku yang sedari awal memang ingin berkemah setelah lama tidak menikmati suasana dingin pegunungan. Aku hanya rindu rasanya menghirup udara dingin segar khas pegunungan. Semakin naik elevasi udara dingin semakin menusuk secara perlahan dan pasti. Sebagian besar tubuhku memang terbalut mantel dan perlengkapan lain berada di dalam box motor sehingga aku tak perlu takut pada barang – barang yang mungkin basah. Nyatanya berkendara dengan menggunakan sendal menuju elevasi 2000 an mdpl cukup menusuk rasa dinginnya. Dari ketinggian 0 mdpl aku tidak memberikan kesempatan pada tubuhku untuk beradaptasi dengan hawa dinginnya.

 Kemudian sampailah pada batas Cagar Alam dimana pada bagian atas merupakan hutan yang dibawah wewenang pengelola cagar alam. Ada fee masuk yang cukup murah yaitu hanya Rp. 5000,00 rupiah untuk satu motor apabila memasuki areal ini. Disini kita harus berhenti sejenak. Aku pun berhenti dan turun dari motor untuk sedikit mengobrol dengan beberapa penjaga yang ada. sejenak menikmati kopi Banyuwangi yang ditanam di tanah gunung ijen. Hanya Rp. 3000,00 kita bisa menikmati kopi hitam khas sini dengan gula yang bisa kita atur sendiri. Cukup banyak mobil yang berhenti di areal ini karena banyak vila yang bisa disewakan sebelum pada malam hari menuju ke atas untuk naik gunung ijen. Yah aku rasa untuk orang yang membawa mobil pribadi dan tidak membawa tenda hal tersebut menjadi alternatif terbaik.

 Aku ingin sedikit menceritakan tentang bagaimana khas minuman yang diseduh dari bubuk berwarna hitam ini memiliki cita rasa yang khas. Hal yang aku suka dari kopi alami adalah bagaimana kopi dapat memberikan rasa yang khas pada tiap tempatnya. Aku banyak belajar dan ternyata kita manusia yang terlalu suka menggeneralkan. Mengurangi khas dari setiap hal dan itu memang memudahkan kita dalam berfikir serta mengklasifikasikan. Tentu saja itu bagus untuk analisa namun untuk sebuah petualangan itu akan menjadi petualangan yang sangat tidak menyenangkan. Sebutkan saja orang jawa terkenal sopan. Seluruhnya kemudian digeneralisasikan bahwa seluruh orang jawa sopan. Nyatanya? Ada Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Jika kita berkata Suku ada Suku Jawa, Suku Betawi, Suku Madura, Suku Tengger dll. Jika kita mengacu ke jawa timur saja tentunya terdapat perbedaan antara orang banyuwangi dan orang nganjuk. Kemudian semuanya digeneralisasikan sebagai “orang jawa”.

 Aku menulis ini hanya demi kepuasan diri memang, namun mungkin ada yang sependapat maupun tidak denganku. Ada orang yang bilang, “ah kopi banyuwangi kurang enak, lebih enak kopi daerah lain”. Yah aku tidak bisa bercomment apapun karena itu adalah selera yang sangat subjektif, namun caranya menggeneralisasikan itulah yang tidak aku sukai. Mencoba rasa demi rasa dari setiap lokasi yang aku kunjungi merupakan salah satu petualangan tersendiri. Kemudian digeneralisasikan sebuah citarasa kopi yang bahkan pembandingnya pun belum tentu tau keasliannya oleh seorang yang berlagak telah mengunjungi setiap sudut penghasil kopi. Lucu kan rasanya? Sama seperti ketika anda orang jawa tapi sangat songong dan anda disebut jawa gagal? Ah lucu sekali.

 Kembali ke topik kopi, tanaman yang berbuah dan memiliki banyak sekali faktor. Alam, kondisi tanah, kondisi udara, perawatan, air, dan lain sebagainya kemudian menjadi satu variabel pembentuk cita rasa kopi. Kali ini aku contohkan adalah kopi yang aku minum disini merupakan kopi dari tanah vulkanis gunung ijen. Memiliki cita rasa yang berat, yah sedikit membuat nostalgia mengingat pegunungan toraja dengan tanah vulkanis gunung latimojong. Cukup membuat nostalgia dan membuka ingatan bahwa rasa khas dan aromanya. Lalu kembali disajikan sebuah kopi lain. Kali ini dia dibungkus plastik. “kopi lanang mas, tapi ndak segarang iku” (kopi cowok mas, tapi tidak segarang kopi yang itu) ucap penjual. Tentu saja dengan harga yang sama, warnanya lebih gelap yang kedua ini. Mungkin prosesnya sedikit berbeda. Ketika aku mencium dan merasakan aromanya, sangat berbeda. Penjelasannya simpel, ini kopi dari gunung ijen tapi bukan tanah vulkanis. Dia lebih ringan rasanya. Satu gunung, 2 jenis tanah, 2 tempat yang berdekatan, beda rasa. Seperti itulah petualangan yang jarang orang tau ketika dia menggeneralisasikan bahwa keduanya adalah kopi banyuwangi. Benar dan salah aku rasa. Sebagai seorang petualang anda selalu bebas memilih dan andalah yang bisa menilai cara mana yang sepertinya akan menjadi petualangan yang mendebarkan.

 

Kopi Tanah Vulkanik Ijen
Api Unggun Bersama para Ranger

Sial sekali, tak terasa sudah hampir 1 jam aku berada di pos ini. Mereka ramah menyambutku dan menjelaskan banyak tentang gunung ini serta beberapa mitos sepanjang perjalanan aku menuju pos paltuding. Mungkin sudah sekitar pukul 16.30 WIB kemudian aku mulai menyalakan motor melanjutkan perjalanan. Hujan sudah tidak mengguyur tempat ini lagi namun aku sudah terlalu malas melepas jas hujan dan lain sebagainya. Matahari sudah mulai sayup dan udara dingin semakin mencekam. Uniknya suasana ini benar – benar membuat hatiku tenang. Beberapa orang akan merasa ketakutan di tengah hutan sendirian, lampu kuning motorku sudah sedikit rusak karena reflektornya yang pecah sehingga aku harus cukup puas dengan cahaya redup yang membelah areal gelap dimana matahari sudah terlalu lemah untuk menyinarinya. Bukan hanya itu, jalanan pun semakin sempit dan bahkan di beberapa tempat aku harus mengatur kecepatan dan gigi motorku karena tanjakan yang aku lalui semakin terjal. Terakhir kali aku melewati jalan ini ketika aku sedang liburan dengan teman kuliahku beberapa tahun yang lalu. Saat itu aku masih sering menikmati hawa dingin kota malang dan batu. Beberapa dari temanku bahkan tak lagi aku tau bagaimana kabarnya, di proyek mana. Semakin aku dewasa, lingkaranku semakin besar namun tak lagi banyak di dalamnya.

 Akhirnya aku sampai, seorang lelaki muda dengan tubuh kekar menyambutku dan menghentikanku tepat di depan pos paltuding. Rasanya tanganku sedikit gemetar saat itu karena rasa dingin. “mau naik mas? Bawa tenda?” ucap lelaki bertubuh kekar itu. Ah sayangnya aku lupa namanya, namun dia sangat ramah. Seberapa kalipun aku coba mengingat namanya saat aku menulis ini masih saja kelabu. Tertutup berbagai hal mengingat cukup jauh dari kejadian tersebut hingga akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan tulisan ini. Aku sangat ingat dengan wajah senyum khas Indonesia banget dia menyambutku, menawarkan padaku masker gas, dan kemudian membantu membawakan box motor dan tendaku ke sebuah lokasi tenda yang cukup strategis. Dari apa yang aku ketahui saat itu, paltuding sudah sangat jauh berkembang. Dulu ada sebuah gubuk besar yang menjadi tempat kami mendirikan tenda ketika aku kali pertama kesini. Namun sekarang, sudah ada lokasi tenda tersendiri, toilet umum dan dilengkapi dengna tempat sampah yang sudah tertata rapi di depan lokasi tenda masing – masing. Sungguh waktu terasa berlalu sangat cepat.

Pilihanku adalah lokasi petak paling ujung di bawah sebuah pohon besar dimana pada bagian belakangnya merupakan pohon cemara yang masih bertumbuh dan tidak terlalu tinggi. Ini merupakan insting dimana menganalisa arah angin, menempatkan tenda membelakangi angin dan bahkan memilih posisi strategis dimana kita bisa kabur dengan mudah ketika terjadi sesuatu merupakan hal dasar yang harus dikuasai dalam memilih lokasi tenda. Aku bisa merasakan pada lokasi itulah aku bisa tenang, tidak terganggu orang yang akan pergi ke toilet umum maupun berbincang keras di jalan utama. Belum ada tenda lain ketika aku datang sehingga aku bebas memilih dimanapun lokasi yang aku inginkan. Lelaki bertubuh kekar itu kembali setelah membantuku berkemas, kami akan bertemu lagi sekitar jam 19.00 WIB di sebuah warung di seberang jalan utama. Satu poin yang berubah dimana dulu kedua kali aku kesini warung dan pondok makan sangat berserakan dengan liar. Namun sekarang sudah diberikan lahan tersendiri dan sudah tertata rapi.

 

Pemandangan di Depan Tenda Pos Paltuding

Tidak susah untukku mendirikan tenda berisi 2 yang sudah menemaniku kemanapun aku pergi. Tenda tua dengan 2 warnanya yang khas. 1 lapis saja dan tanpa cover karena terbakar ketika aku mengunjungi gunung slamet di jawa tengah pada petualangan sebelumnya. model lama, tua, jadul, namun penuh cerita. Mungkin sekitar 10 tahun sudah tenda ini menemaniku. Banyak bagian stik yang sudah retak namun aku pertahankan dengan selotip bening agar retakannya tidak semakin besar. Aku bahkan ingat bagian – bagiannya yang berlubang dengan setiap ceritanya. Aku tau suatu saat aku harus berpisah dengna tenda ini, namun untuk beberapa waktu ini dibantu dengan flaysheet sebagai cover tendaku sepertinya cukup nyaman di dalam sini.

 Aku memasukkan box motorku ke dalam tenda ketika tenda itu telah benar – benar berdiri. Aku kemudian duduk memandangi bagian bawah lokasi tenda. Lapangan dan parkiran yang tampak ada beberapa orang sedang memarkir motornya. Ada pula beberapa orang lain yang tengah mendirikan tenda di sekitar tendaku berdiri. Suasanyanya tidak seramah ketika benar – benar di gunung yang sepi. “sementara cukup seperti ini” kemudian aku mendengarkan lagu Hollow Coves sembari menyantap makan siangku. Diatas masih tampak mendung namun perkiraan cuaca dari beberapa sumber menyebutkan bahwa malam ini akan cerah. Jarak antara tenda cukup jauh sehingga ketika aku duduk di depan tendaku aku merasa benar – benar nyaman. Alunan musik aku setel sepelan mungkin untuk bisa dinikmati sehingga masih tidak mengganggu sekitar.

 Pukul 19.00 WIB aku beranjak dari tendaku, melalui kerumunan orang yang duduk duduk di pinggir jalan setapak ke jalan utama. Mereka berbincang dan beberapa tertawa terbahak – bahak. Bukan tempat sepi memang untuk gunung dengan ratusan pendaki setiap harinya. Gunung yang tergolong mudah baik dari akses maupun tingkat kesulitan pendakian itu sendiri menjadi daya tarik utama mengapa banyak masyarakat tanpa bekal ilmu survival yang tinggi sudah cukup untuk bisa menikmatinya. Tersedianya banyak warung dan cafe serta api unggun membuat orang bakal betah walaupun tanpa harus menikmati di dalam tenda. Lelaki bertubuh kekar itu berada di api unggun beserta beberapa teman lainnya. Dia sedang menggosok masker yang akan aku gunakan nanti dengan menggunakan alkohol sehingga tersterilisasi. Aku pun duduk dan memesan 5 mangkok bakso dan kopi hitam tanah vulkanis pegunungan ijen untuk masing – masing dari kami. Rasanya sudah sangat lama semenjak aku duduk melingkar bersama orang – orang di depan api unggun seperti ini. Mungkin ketika kegiatan kuliah ada sih api unggun di akhir masa jabatanku sebagai Himpunan Mahasiswa dulu, namun sepertinya konteksnya bukan untuk kemeriahan seperti ini.

 Masa ketika aku mendaki gunung Ijen adalah masa dimana Corona belum seheboh sekarang ini. Virus yang diketahui pertama kali di Negara Tirai Bambu itu mungkin sebenarnya sudah masuk tapi tingkat kepedulian pemerintah saat itu benar – benar mengkhawatirkan. Aku termasuk ke dalam jutaan lapisan masyarakat lain yang sepertinya sama sekali dibuat tidak perduli tentang pandemi yang sudah berada di negara tetangga. Namun sudah mulai terasa dampaknya di beberapa sektor seperti sektor pariwisata mengingat betapa sigapnya negara lain sehingga mereka sudah mulai memberlakukan lockdown. Sektor pariwisata menjadi momok yang utama terkena dampaknya selain di sektor kesehatan secara langsung dan berujung pada sektor ekonomi karena pembatasan wisata asing yang masuk ke Indonesia. Namun saat itu pemerintah hanya diam seribu kata pariwisata mendunia seperti Kawah Ijen dengan blue fire nya yang sangat ikonik tentunya akan terdampak.

 Apa yang aku tulis diatas merupakan keluh kesah seorang pria paruh baya bertubuh kekar bersama dengan ketiga orang temannya ketika kita berlima duduk di depan bara api sambil melahap tanpa ragu bakso panas ke dalam mulut. Jika kita sekali lagi mengeneralisasikan pekerjaan dan tingkat pendidikan tentu saja mereka kalah dengan berbagai orang di pemerintahan sana. Tentu saja kita akan berfikir bahwa mereka adalah orang yang pertama kali berkata “tidak” ketika pariwisata ditutup. Tentu saja kita akan berfikir mereka akan berkata “tidak” ketika mata pencaharian utama mereka sehari – hari terganggu. Namun ketika aku mulai menanyakan terkait dengan langkah selanjutnya, mereka justru yang menjawab bahwa seharusnya selurh wisata ditutup saja sementara karena takut apabila dibiarkan akan menjadi masalah yang lebih besar.

 Visioner bukan? Ketika aku mengetik ini Indonesia sudah mengalami masa sulit karena pandemi tersebut dan bahkan bersiap beranjak ke new normal walaupun untuk sebagian wilayah masih terinfeksi dengan grafik yang terus meningkat namun terjepit kendala terkait permasalahan ekonomi yang ada. jika saja pemimpin negara ini bisa bertindak lebih cepat saat itu, mungkin hal ini tidak akan terjadi separah ini. Mungkin aku juga tidak bisa dengan gamblang menyalahkan pemerintah terkait hal ini, kita smeua bertanggung jawab karena di dalam proses tersebut. namun ayolah, mereka yang bahkan tidak berada di istana maupun gedung tinggi apalagi mempunyai wewenang pengambilan keputusan memiliki pemikiran fleksibel yang visioner. Apa kabar dengan mereka yang kita titipi suara kita?


"Chapter II - Perjalanan Bertabur Bintang"

Pembahasan berlanjut dan bahkan kami menambah porsi kopi kami. Malam semakin larut namun berada di dekat api unggun dengan kopi dan pembahasan yang cukup panas sepertinya menghangatkan diriku baik luar dan dalam. Salah seorang dari para pria ini bercerita bagaimana dia pernah bekerja sebagai penambang garam di gunung. Satu lagi bercerita bagaimana dia pernah melihat harimau jawa di pegunungan Yang walaupun secara resmi menurut berbagai sumber Harimau Jawa telah punah. Mereka semua bekerja di bidang pariwisata yang sedang tercekik sekarat. Namun sepertinya mereka sudah melilit menjadi satu dengan canda tawa. Menghadapi semuanya selayaknya pria, masing – masing memilki cara untuk keluar dari masalah. Sisi keren lelaki kekar paruh baya di sebuah pos pendakian.

Aku melihat jam dan sudah pukul 22.00 WIB. Rasa lelah karena perjalanan panjang hari ini memaksaku untuk undur diri dari percakapan penuh semangat ini. Otakku masih sanggup terus berfikir namun kali ini aku harus menyimpan untuk persiapan pendakian malam ini. Tentu saja aku yang sudah lama tidak olahraga dan tidak melakukan aktivitas yang terlalu berat harus selalu menjaga stabilitas tenagaku. Rasanya rindu juga tidur beralaskan matras tipis perak di dalam tenda yang dari lubangnya aku bahkan bisa melihat bintang. Aku berpamitan menyalami mereka satu persatu, membayar kepada ibu pemilik warung yang bahkan memberikanku diskon air minum. Sungguh, aku batinku dibuat sengsara melihat kebaikan masing – masing orang ini. Berjalan menuju tenda melewati jalan setapak di bawah bintang sangat menakjubkan. Awan mendung tadi sudah beranjak pergi dan semakin malam langit semakin memukau. Sudah banyak pendaki lain yang datang dan disekitar tendaku sudah tampak banyak tenda lain. Sebagian sudah tidur dan bahkan ada yang terdengar dengkurannya. Aku berjalan masih dengan semangat seolah ada bara api yang masih terbakar di hatiku. Malam yang indah.

Aku masuk ke dalam sleeping bag menjaga kehangatan agar tetap tidak keluar terlalu banyak sehingga tubuhku tidak akan kelelahan ketika bangun nanti. Alhasil benar – benar nyenyak tidurku malam itu. Suara musik pelan dan samar menemaniku dan menjadi pengantar tidur yang sangat menenangkan. Seluruh ketegangan, kekhawatiran, ambisi, cita – cita, pandangan orang lain, dan lain sebagainya yang setiap hari menjadi bayangan untuk berjuang aku buang semua. Lucunya, aku merasa ketika aku membuang semua itu hanya bisa dilakukan disini dan lucunya itulah momen dimana aku merasa bahwa aku benar – benar menjadi aku. Seorang anak kecil yang melihat peta di tangannya dan berharap bisa menjelajahi setiap sudutnya.

Terbukalah mataku ketika aku mendengar sayup alarm yang aku pasang disertai banyaknya langkah kaki yang terdengar. Pendakian menuju puncak ijen memang dilakukan pada malam hari karena momen blue fire yang langka tersebut cukup jelas terlihat pada saat malam. Selain itu untuk belerang yang mengarah ke pendakian tidak terlalu tinggi. Serangkaian perjalanan pendakian gunung ijen kita disajikan lawan tanding antara daya tahan tubuh dan sulfur. Terlalu banyak menghirup sulfur tentu saja akan berakibat sangat buruk pada pernafasan kita. Intensitas tersebut dikurangi memang dengan memakai masker gas sebagaimana disediakan oleh orang – orang di paltuding dan kita bisa menyewanya dengan harga yang sangat terjangkau.

 

Lampu Kota dari Jalur Pendakian Menuju Puncak Kawah Ijen

Singkatnya aku segera bergegas untuk menyiapkan diri segera bergabung dengan rombongan pendaki lain untuk segera menuju puncak. Ternyata sangat banyak orang – orang yang juga sedang melakukan pendakian. Yah ketika aku bangun memang seluruh lokasi tenda tampak sudah terisi penuh, banyak mobil juga yang terparkir di sekitar toilet umum yang sepertinya dijadikan juga oleh mereka sebagai tempat menginap. Ada satu keluarga kecil dengan anaknya, ada yang membawa gitar, ada yang bahkan naik membawa helm motornya karena takut hilang mungkin. Sangat random orang – orang yang mendaki gunung seperti ini. Bahkan aku melihat seorang wanita dengan jaket tebal yang sepertinya masih berlapis kesulitan berjalan, tampak mirip seorang wanita yang memakai baju astronot sedang mendaki gunung. Aku sendiri hanya memakai sepatu lari, celana pendek lari, dan kaos. Di tasku ada jaket hujan yang cukup tebal sebenarnya dan bisa dialih fungsikan sebagai jaket.

Berkemahnya aku anggap sebagai sarana untuk refleksi diri dan terkadang sebagai sarana untuk menekan emosi atau bahkan ketika aku suntuk. Refreshing diriku untuk kembali menjadi diriku yang berfikir secara logis. Aku bukan lelaki yang suka berfikir dengan membawa perasaan, namun ada kalanya ketika seluruh dunia berada di pundakmu dan mulai menekanmu dengan keras. Aku juga manusia dan saat itulah suasanya itu aku gunakan sebagai proses dalam menenangkan hati dan pikiranku. Perjalanannya sendiri aku anggap sebagai olahraga. Karena itu aku bersemangat dalam perjalanannya sebagai uji fisik untukku pribadi. Mengalahkan setiap treknya adalah mengalahkanku, dan menikmati setiap rasa lelahnya adalah menikmati aku. Headset bluetooth menancap di telingaku dengan musik ala ala twenty one pilots sedikit rap dan musik beat membuat kakiku berderap lebih kencang walaupun rasa sakit masih kental terasa di lutut kiriku.

Hari semakin malam dan aku mendaki semakin lambat karena mulai lelah. Aku terkadang harus berhenti beberapa kali untuk memberikan jalan pada beberapa orang di belakangku atau harus ke pinggir karena ada beberapa rombongan yang berjajar hingga 4 – 5 orang sehingga menutupi seluruh badan jalan. Jalur pendakian gunung ijen sendiri sudah lebar ketika aku pertama kali kesini beberapa tahun yang lalu, namun demikian semakin tahun semakin bertambah menjadi lebih baik. Kali ini dilengkapi dengan toilet umum di beberapa titik di pinggir jalan. Kemudian ada pula beberapa gazebo di pinggir jalan untuk pada pendaki istirahat. Berbeda dengan pendakian pertamaku dulu kesini yang mengharuskanku berhenti di pinggir jalan. Kemudian jalan pendakian sudah dilakukan pemadatan untuk material agregat kasar dan halusnya walaupun belum dirigid. Hehehe maklum anak teknik sipil seperti aku sedikit tahu tentang jalan walaupun tidak dikerjakan dengan sangat baik, namun mengingat lokasinya yang cukup susah, aku rasa sudah menjadi sebuah apresiasi untuk pemerintah dan warganya.

Sampailah pada pos pondok terakhir. Kali ini tidak banyak yang berubah dari sebuah pondok yang menjadi penanda bahwa jalur pendakian yang lebar sudah selesai. Kemudian dilanjutkan dengan jalur pendakian yang lebih terjal dan lebih sempit. Namun di beberapa tempat terdapat spot datarnya. Di belakang pondok ini sudah terlihat jelas bagaimana terjalnya. Namun ada sedikit hal yang berubah yaitu pagar kayu dan belokan terjal yang sepertinya dibuat setelah ada longsor. Masih ada bekas sliding yang terlihat di tebing, timbunan longsor tersebut sepertinya menimbun jalur pendakian yang lama sehingga pengelola harus membuat jalan baru yang lebih terjal dari sebelumnya, dengan mengedepankan safety, tentunya pagar ini akan sangat membantu untuk orang – orang berpegangan dan menambah kekuatan dalam menanjak. Termasuk aku hahahaha. Pada titik ini aku sangat ingat aku sangat kelelahan, dari bawah tidak ada berhenti dan setelah cukup lama aku tidak olahraga tentunya hal tersebut akan sangat membebani tubuhku. Tenagaku rasanya sudah terkuras dan itu hal yang buruk ketika nanti kita harus berhadapan dengan sulfur dimana mengurangi asupan oksigen tubuh kita. Di sebuah celah kecil setelah tanjakan ini akupun berhenti sejenak.

Terlihat bintang – bintang sangat indah. Ada beberapa pegunungan terlihat dan dari titik ini berdasarkan informasi ingatan yang ada di otakku aku tau betul di depanku adalah gunung raung. Semua kenangan pendakian gunung raung mengalir deras di kepalaku. Aku tak begitu ingat namun aku tau betul aku tersenyum karena ingatanku. Beberapa dari mereka aku tidak tau kabarnya bagaimana. Mas muchimin sudah punya anak, mbak favia jadi model, mas dhani baru saja menikah. Mereka punya jalan masing – masing. Aku tersenyum ketika mengingat bahwa itu adalah pendakian terakhirku bersama mereka. Mungkin waktu berlalu cepat dan sangat cepat ketika aku harus menghitung struktur, menghitung aliran air, merekap data hujan dan lain sebagainya. Flashback pada ingatanku ketika masa SMA dimana aku hanya berpenghasilan Rp. 2000,00 rupiah dari orang tuaku dan masing – masing Rp. 1000,00 rupiah digunakan sebagai transport pulang pergi ke sekolah. Ah waktu. Udara dingin semakin menusuk apalagi aku berkeringat sangat banyak namun sangat menyegarkan, aku tau udara tipis membuat kita berfikir sedikit tidak logis dan berasa di alam mimpi, pikiran logisku berfikir sedemikian. Namun perasaanku berkata biarlah, sedikit lagi. Aku akan kembali ke dunia nyata.

 

Lampu Pendaki dengan Background Gunung Raung

Untuk ke tiga kalinya aku sampai pada puncaknya. Kawah menjulang besar di depanku yang kini sudah dipagar rapi tidak seperti ketika dulu kali pertama dimana hanya ada tulisan jangan terlalu dekat dengan bibir kawah. Hari masih sangat gelap dan kabut cukup tebal disini sepertinya cuaca tidak begitu bersahabat seperti sebelumnya. selain itu masalah utama dalam pendakian kali ini sudah mlai muncul yaitu sulfur. Gas yang berbau menyengat ini keluar dari lokasi penambangan yang berada di dasar kawah didekat danau asam pada kalderanya. Keluar secara konstan namun arahnya 100% dipengaruhi oleh arah angin. Entah pada malam ini sepertinya angin mengarah ke jalur pendakian yang menyebabkan sebelum sampai di puncak pun sudah memaksaku menggunakan masker dan lebih parah ketika berada di puncak.

Sesekali aku berpapasan dengan penambang belerang yang sedang membawa 2 keranjang penuh dengan belerang padat hasil kondensasi yang terjadi di bawah. Sungguh luar biasa dan mencoba membayangkan berkali – kali pun aku merasa tidak akan sanggup melakukan apa yang mereka lakukan disini. Aku cukup sering melihat penggunaan belerang ini sebagai alat uji tekan beton karena aku berkecimpung di dunia konstruksi. Belerang digunakan sebagai bantalan dalam uji tekan karena bisa memadat dan pecah ketika nanti dibuka. Namun lebih jauh sebenarnya ini ada pada hampir semua kegiatan sehari hari kita. Lipstik dan beberapa perlengkapan kosmetik misalnya. Jika kita membayangkan satu lipstik yang mewarnai bibir para wanita sehingga terlihat lebih menawan itu merupakan hasil keringat orang – orang ini. Membawanya dari dasar kaldera yang memiliki tingkat resiko sangat tinggi tentu saja sebuah hal yang sangat tidak pernah terfikirkan. Bahwa bibir merah itu memang penuh resiko dalam prosesnya.

Kemudian sampailah aku di persimpangan untuk menuju puncak sejati dari gunung ijen atau turun ke kaldera untuk melihat blue fire. Tentu saja jadwal pertama adalah turun ke bawah ke dalam kaldera dan ke tepi danau untuk melihat secara langsung kaldera itu. Kabut yang ada menghalangi pandanganku sehingga pada malam itu kira kira jarak pandangku hanya tersisa 10 m. headlampku masih bisa menembusnya dan banyak pula orang yang sedang mendaki gunung dan berjalan bersamaku. Tampak pula beberapa orang lokal maupun dari mancanegara yang sedang berjalan. Mengingat ini terasa sebagai saat – saat terakhir sebelum PSBB diberlakukan di  berbagai daerah di Indonesia karena pandemi Covid 19 tentunya cukup menyenangkan saat itu.

Turunan terjal itu masih tampak sama dari beberapa tahun yang lalu. Aku masih harus berhenti sejenak untuk memberikan kesempatan pada penambang belerang yang sedang menuju ke atas karena jalan sangat sempit. Sesekali aku harus berhenti sembari menarik nafas ketika ada pendaki lain sedang beristirahat di depanku. Tentu saja di gunung dengan tingkat kesulitan seperti gunung ijen ini sudah sangat lazim bertemu dengan banyak orang yang tidak biasa melakukan kegiatan berat seperti hiking. Namun demikian kita harus selalu bersabar dan menghargai setiap orang yang ada bukan. Itulah inti menjadi seorang manusia. Aku selalu mencoba dan terus mencoba untuk tidak terlalu larut dalam kebahagiaanku sendiri dimana seringkali membuatku lupa diri dan mulai tidak menghargai orang lain disekitarku. Saat itulah aku tau aku sedang sangat terpuruk.

Berjalan di belakang rombongan guide yang berisikan 3 orang yang sepertinya berasal dari wilayah eropa dan 2 wanita yang berasal dari korea selatan membuatku menemukan sebuah tempat baru dimana aku baru kali ini datang ke tempat tersebut. oke aku sebenarnya hanya mengikuti saja sambil tetap mendengarkan musik dari headsetku jadi aku tidak benar – benar mengikuti rombongan mereka, namun ketika mereka berbelok ke arah yang berbeda dari rombongan biasanya aku merasa penasaran dan mulai mengikuti mereka. Jalanan ini langsung ke kiri dari jalur utama dan melalui bebatuan yang lebih terjal. Namun tampak ada beberapa penambang belerang yang berada di depanku. Di tengah samar asap belerang yang mengepul terbawa angin tersebut akhirnya aku sadar bahwa tempat itu adalah salah satu tambang namun tidak semua pendaki dan pengunjung kesini. Sehingga lokasinya yang sedikit lebih susah daripada lokasi lain membuatnya sedikit terisolasi sehingga tidak banyak pengunjung melalui ini.

Sesekali angin berhembus keras dan terkadang berputar disekitar kami sehingga membuat asap belerang tersebut mengepul. Asap tersebut membuat kami semua kesusahan bernafas dan bahkan beberapa kali aku mengeluarkan air mata dan ingus. Menjaga masker ini tetap bersih aku memang menambahkan tisu ke dalamnya namun seperti gas saat kericuhan terjadi diantara demonstran ini benar – benar cukup menyakitkan. Tampak salah seorang dari rombongan guide dari korea selatan itu mulai panik dan mengajak untuk beranjak namun guide tersebut menenangkannya. Ketika asap mulai terbang ke arah lain aku melihat pemandangan yang benar – benar luarbiasa. Salah seorang penambang yang sama sekali tidak bergeming dengan kondisi tersebut dan bahkan terus memukul belerang yang telah keras itu. Mengumpulkannya pada keranjang di samping kaki kirinya. Tanpa bergeming dan beranjak sedikitpun hanya dengan satu lapis masker dari kain yang tampak sudah sangat usang. Entah sudah berapa tahun berapa hari berapa jam berapa menit berapa detik waktu yang sudah dihabiskannya disini selama masa hidupnya. Dia tidak bergeming ketika aku mengambil fotonya yang luar biasa.

 

"Chapter III - Melihat Api Biru Merupakan Pertarungan antara Paru - Paru dan Waktu, Alam yang Menjadi Jurinya"

Rombongan dari guide itu kemudian pergi namun aku masih duduk memandangi pipa yang mengeluarkan asap mengepul di depanku. Aku tau dari kondisinya yang sangat banyak mengeluarkan asap dan dengan angin seperti ini, hal ini sangat mirip dengan kali pertama aku kesini sehingga kami tidak bisa melihat dengan jelas blue fire yang ada. ketika asap pergi seperti langsung disambut dengan kabut tebal yang juga menghalangi setiap kamera mengambil momen indah yang langka. Namun begitulah aku mengamati dan membayangkan setiap proses kondensasi yang terjadi di dalam pipa itu sampai bapak penambang itu menghampiriku, memberitahukan ada sebuah belerang padat yang cukup unik karena dia menetes perlahan dan kemudian mengeras sehingga menjadi sebuah bentuk spiral yang unik. Dia memberikan padaku, seolah aku harus membalas dan hanya ada air di kantong celana pendekku. Dia meneguknya dengan cepat. Aku tak merasakannya namun seolah rasa lelah yang dia tanggung dan tahan selama itu tersampaikan. Di kegelapan yang hanya disinari sinar senterku ini aku melihat keringat seorang pejuang yang mempertaruhkan nyawanya di sebuah kaldera gunung berapi setiap malam.

Pekerja Tambang Belerang sedang Memecah Batu didalam Gas Sulfur

Sebut saja aku gagal mengambil dokumentasi blue fire itu untuk kalian yang membaca dan menantikan bagaimana bentuknya. Memang sangat disayangkan namun begitulah perjalananku. Aku kemudian menghampiri bibir danau yang ada di kalderanya. Air yang asam itu ingin aku masukkan ke dalam botol sebelum salah seorang menghampiriku dan mengatakan jangan. Salah satu penambang itu memperingatkanku bahwa pada masa – masa ini ada aliran racun yang mematikan di dalam danau. Tidak pernah ada yang tau kapan tiba tiba gas beracun tersebut keluar dari dalam danau. Namun ketika itu benar – benar keluar, maka tamat riwayat kita. Ah tidak sepadan rasanya aku pun mengurungkan niatku dan segera beranjak naik. Tak lagi aku lihat rombongan guide itu hingga akhirnya aku sampai di bagian atas bersama dengan 3 orang yang ternyata berasal dari Kabupaten Jember. Akupun bergabung dengan mereka.

 Kali ini aku kembali ke pertigaan dan bersiap menuju ke puncak sejati gunung ijen bersama dengan ketiga orang ini. Sedikit kasar sebenarnya seolah aku tidak ingin mengenal terlalu dekat dengan mereka, namun sekali lagi aku sama sekali tidak ingat nama mereka walaupun memang sudah sempat berjabat tangan dan menukarkan informasi nama kita masing – masing. 2 orang diantaranya adalah pasangan suami istri pendaki. Tampak perlengkapan mendaki gunung yang lengkap melekat dikeduanya sedangkan salah seorang lagi keponakan dari si istri. Aku sedikit ragu sebenarnya namun cuaca diatas terlihat sangat tidak mendukung dan kemudian kami berempat melanjutkan perjalanan walaupun tampak awan masih terus saja berputar.

 Tidak sampai terlalu jauh dari pertigaan memang sudah banyak pendaki lain yang sedang beristirahat disini. Angin berhembus cukup kencang dan beberapa orang tampak menggigil. Tiba tiba rombongan ini pun berhenti dengan alasan menunggu cuaca mungkin akan sedikit cerah setelah ini. Ah tentu saja menurutku itu keputusan yang kurang tepat mengingat lokasi kita berhenti kita akan dihempas angin setiap waktu sedang melanjutkan sedikit diatas sepertinya lebih banyak semak dan pohon berukuran sedang yang bisa menjadi lokasi berlindung dari angin. Entah keputusan mereka dan aku ikut saja. keponakan sang istri juga tampak ragu tapi dia juga pada akhirnya duduk. Beberapa orang yang baru naik juga duduk di sekitar kami, aku mulai berfikir bahwa mungkin ini keputusan benar. Ketika jam mulai menunjukkan waktu sunrise, kami tak nampak apapun dan hanya kabut tebal putih. Menutupi pandangan kami dari siburat merah yang kami nantikan. Kemudian hawa dingin itu pun akhirnya merayap masuk ke dalam tulang setelah menembus kaosku yang basah karena keringat. Aku pun memakai mantelku pada akhirnya walaupun masih sedikit ragu melanjutkan duduk di tempat ini dimana terus terhempas oleh angin.

 Langit mulai cerah dan kabut yang masih abu abu gelap menjadi putih karena membiaskan cahaya matahari. Sedikit demi sedikit terbuka secara perlahan dan munculah pemandangan menakjubkan dari danau asam kaldera gunung Ijen yang sangat memukau dengan warna warninya yang khas. Semua orang segera mengambil kamera dan handphone mereka untuk segera mengambil kesempatan ini sedang aku sibuk menahan dingin dengan mendekap kakiku yang pada bagian lutut kebawah tidak terlapisi sehelai kain apapun. Karena semakin keras dan dingin angin yang menghempasku, aku memutuskan berpisah dengan rombongan ini. Berdalih mengambil foto akupun kabur ke atas. Tidak enak sih namun aku juga tidak ingin membuat mereka merasa sungkan padaku. Kulanjutkan perjalananku dengan menghentakkan kaki sedikit keras. Perlahan tapi pasti suhu tubuhku naik karena pembakaran karbohidrat yang terjadi di dalam tubuhku. Seiring dengan bertambahnya suhu tubuh dan naiknya detak jantung, perlahan matahari mulai muncul.


Sisa Pohon yang Telah Terbakar di Puncak Kawah Ijen

Aku sudah masuk ke dalam semak – semak dan ternyata banyak orang yang lebih pintar sedang bersembunyi disini. Bersembunyi dari angin dingin yang menusuk tulang itu. Ah aku merasa diriku sendiri lucu menahannya sedari tadi. Kini awan dan kabut mulai menghilang terurai oleh panas matahari. Tidak lagi oranye namun sudah cukup hangat. Ada bentuk khas bayangan gunung di danau kaldera. Aku mengambil beberapa dokumentasi pemandangan yang menarik mataku. Lalu segera berbalik dan menghadap ke arah timur merasakan hangatnya matahari membelai pipiku secara perlahan. Dinginku sudah mulai menghilang dan memberikan rasa hangat yang luar biasa. Tampak di kejahuan waduk dari bendungan bajul mati memantulkan cahaya matahari pagi itu. Pulau bali sedikit tertutup kabut tipis namun mulai menampakkan wujudnya. Perasaan tenang yang karena kembali merasakan betapa kecilnya setiap masalahku daripada dunia ini. Terlalu kecil setiap masalah yang membuatku mengutuk dunia dibandingkan dunia itu sendiri. Aku duduk berteman roti dingin di sebuah kayu merasakan hangatnya matahari, pipiku memerah rasanya. Nyaman.

 

"Chapter IV - Kejadian Masa Lalu selalu Kita Sebut Kenangan"

Semua pendaki gunung dan petualang akan merasakannya dan terus merasakannya bahwa setiap ingatan akan petualangan terasa seperti mimpi indah. Siapa yang ingin terbangun dari mimpi indah? Itulah yang mendorong kita para petualang sejati untuk terus berpetualang menjelajahi sudut dunia. Mengenal warna warni manusia. Kita petualang hidup sebentar di dunia mimpi itu. Namun pada akhirnya setiap orang harus terbangun dan kembali ke dunia nyata. Harus kembali bertarung dengan kehidupan nyata melawan ego dan manusia. Rasanya aku tak lagi menjadi aku, terlalu sibuk memikirkan orang lain, perasaan orang lain, uang, wanita, ambisi dan hal hal yang aku bahkan tak lagi tau mengapa aku mengejarnya. Ketika diingat kembali inilah yang mendorongku untuk terus menulis ceritaku bahkan ketika mereka mencoba membeli ruang kecil dalam bentuk blogspot yang sudah cukup lama ini. Ini ceritaku, dunia mimpiku, biarkan aku tetap menulis dan tentu saja aku tak mengharapkan picis untuk mimpi indahku sendiri.

 Liburku memang pendek dan tidak ada yang spesial dalam perjalan menuju dunia nyata. Aku sempat tertidur cukup lama di dalam tenda setelah menyantap nasi pecel dengan rasa sayur khas kebun belakang rumah. Ketika aku sadar matahari sudah kembali tertutup dengan awan. Aku segera membereskan tenda sebelum aku diguyur disini oleh langit dan tertahan di lokasi ini. Cukup ngeri rasanya ketika turun dengan kecepatan tinggi kembali melalui jalan yang terjal dan sempit. Ah semua normal sampai aku sampai di pelabuhan ketapang. Semua melihatku dan motor oranye ku yang penuh lumpur karena hujan kemarin. Tenda masih terikat kencang di bricket box motorku. Perlu beberapa saat untuk pengecekan penyebrangan dan dengan asik aku membuka google map sebagai penunjuk jalanku selama ini. Mataku terbelalak ketika melihat tulisan hot spring di jalan pulang yang akan aku lalaui. Enak juga rasanya pasti meregangkan badan di pemandian air panas.

 Sampai di pelabuhan gilimanuk awan sudah semakin gelap. Aku memacu motorku lebih kencang lagi setelah mengisi bahan bakar motorku penuh. Tidak ada tanda – tanda wisata pemandian air panas dan malah mengarah ke pinggir pantai. Aku sempat ragu apalagi jalan ini entah mengarah kemana namun pada akhirnya ada tulisan kecil bertuliskan “banyu wedhang hot spring”. Aku tersenyum lega. Pemandian ini tidak terlalu terkenal seperti pemandian toya devasha sebagaimana aku tulis dalam perjalananku menjelajahi kintamani. Namun seperti semua wisata di bali yang tertata dan dikelola dengan baik.

Sembari menunggu hujan reda aku berendam di pemandian tersebut. rasanya seluruh pegal di bahu dan kaki perlahan terangkat. Aku bahkan sepertinya sempat tertidur disana. Rasa panasnya sungguh sangat panas dan nikmat. Perjalananku berakhir disini. Mungkin masih sekitar 40 km lagi menuju singaraja namun hanya tersisa perjalanan motor di hari yang mulai gelap dan itu akan menjadi cerita yang membosankan bukan. Sebenarnya kemarin aku mendapatkan masukan dari salah seorang pembaca tetap blogku dimana dia merekomendasikan untuk menambah estimasi perjalanan. Mungkin di petualanganku selanjutnya akan aku catat dengan rinci sehingga bisa jadi acuan dalam melakukan perjalanan untuk kalian semua. Tetap jaga kesehatan pada masa new normal ini, tetap semangat. Terima kasih.

-THE END-

"aku tak bisa mengomentari hidup orang lain. hidupku sendiripun sangat rumit. sangat singkat dan bahkan baru seperti kemarin aku masih belajar matematika dan sekarang penyesalanku datang. aku berusaha mempertahankan kejujuranku setidaknya hal itu yang menjauhkanku dari kegagalan" Ucap Salah Satu Bapak Bapak di depan api unggun memberikanku inspirasi.

Komentar

Hot Mingguan!!

Maaf, Kepada Hidrologist: Jangan Percaya Peta Global dari GIS Enthusiast

 Akhir Akhir ini aku menemukan banyak GIS Anthusiast yang kemudian mereka menerbitkan kode GEE (Google Earth Engine) untuk pembuatan Peta tata guna lahan baik skala global maupun skala regional seperti peta Tata guna lahan Nasional Indonesia. sebuah terobosan, namun maksud dan tujuan para GIS Anthusiast ini sangat berbeda dengan kebutuhan para Hidrologist dan Hidraulic engineer dalam pembuatan model. sehingga Peta global yang mereka buat tidak bisa kita gunakan. ESRI Sentinel-2 Global LULC 10 m Resolution Source:  Esri | Sentinel-2 Land Cover Explorer (arcgis.com) Pembuatan peta Tata Guna Lahan mempunyai banyak fungsi yang disesuaikan dengan kegunaannya. dari pengamatan perubahan tata guna lahan hingga berbagai analisa lainnya. untuk analisa hidrologi, penggunaan tata guna lahan atau tutupan lahan bisa digunakan sebagai dasar pembuatan basemap untuk model hidrologi. begitu pula dengan analisa hidrolika yang terkadang menggunakan input jenis tutupan lahan dalam penentuan basemap model h

Makalah alat pengukur curah hujan

ALAT PENGUKUR CURAH HUJAN Makalah tugas akhir ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah hidrologi teknik dasar yang diampu oleh Dr. Ery Suhartanto, ST. M.Pd. OLEH : YUANGGA RIZKY ILLAHI                                   145060400111003 LUCIA PUTRI RACHMADANI                  145060400111011 FATHINUN NAJIB                                       145060400111027 YOGA OKTA WARDANA                          145060400111028 NUR FITRIA PUSPITAWATI                      145060401111049 UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG FAKULTAS TEKNIK TEKNIK PENGAIRAN Juni 201 5 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang             Hidrologi adalah suatu ilu yang menjelaskan tentang kehadiran dan gerakan air di alam kita ini. Meliputi berbagai bentuk air, yang menyangkut perubahan – perubahannya antara keadaan cair, padat, dan gas dalam atmosfir, diatas dan di bawah tanah. Di dalamnya tercakup pula air laut yang merupakan sumber dan penyimpanan air yang mengaktifka

Makalah POMPA Hidrolika Saluran tertutup

MAKALAH HIDROLIKA SALURAN TERTUTUP POMPA Disusun Oleh: Kelompok II Elang Timur                             145060400111015 Fariz Bayu Rachmanto            125060400111074 Galih Rizam Pratama               145060400111024 Gloria Dihan Utomo                145060400111002 Tami Pratiwi                            145060400111007 Yoga Okta Wardana                145060400111028 Yuangga Rizky Illahi              145060400111003 Yudhistira Akbar Z.R              145060400111005 JURUSAN TEKNIK PENG AIRAN FAKULTAS TEKNIK                                                                                    UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 201 4 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang             Air merupakan sebuah sumber daya yang sangatlah penting bagi kehidupan manusia. Tanpa sumber air, manusia tidak akan pernah bisa hidup. Karena itu, manusia sangatlah bergantung pada air itu sendiri. Selain dalam kehidupan manusia,