Gunung Lemongan (PART 2)
Minggu 30 Maret 2014
Tanggal hari ini
berwarna merah. Hari besar mungkin setelah sekian lama aku tidak mendaki gunung
dan akhirnya aku bisa kembali menikmati suasana alam yang telah lama aku
rindukan tersebut sehingga hari ini bisa terlaksana. Seperti biasa pagiku,
mandi, mencuci motor, membantu umiku memasak. Kemudian aku kembali mengecek
tenda yang akan kami bawa. Takutnya ada hal yang belum benar pada tenda
tersebut dan tidak bisa kami dirikan. Setelah semua beres, sekitar pukul 07.30
WIB aku mengirimi pesan ke Arif dan Khafidz agar segera berangkat.
Pukul 08.00 khafid
sudah berada di daerah klakah, tetapi arif bahkan masih belum datang untuk
menjemputku. Beberapa kali aku SMS dia tetapi masih saja belum ada respon yang
jelas. Dia bahkan tidak konfirmasi dimana dia berada. Hal ini yang menjadikan
menunggu itu membuat frustasi. Lalu aku menunggu dan menunggu di depan sebuah
musholla kecil di kuburan daerah benteng kota Lumajang (biasanya disebut
biting) di daerah sekitar rumahku. Cukup lama sekitar 1 jam aku menunggu
akhirnya arif membalas. Tetapi malah tidak tahu dimana biting itu berada.
Akhirnya setelah aku berikan tata cara menuju biting dia sampai juga.
Kami pun segera
berangkat menuju wonorejo (daerah terminal di kota lumajang). Kami menuju
Indomart untuk membeli berbagai keperluan dan bahan makanan serta sebuah kaleng
untuk membuat kompor darurat. Kompor yang seharusnya dibawa along tidak bisa
dibawa karena along tidak jadi ikut, kemudian arif yang aku utus untuk
mengambil barang – barang di tempat along karena rumah mereka yang sama – sama
daerah selatan (daerah tempeh Dan sekitarnya) malah tidak tahu dimana rumah
Along. Arif sempat mencari letak rumah along dan berusaha menghubunginya,
tetapi tidak dibalas oleh along. 2 poin brengsek untuk along ku berikan pagi
itu.
Kami pun akhirnya
berangkat, menuju daerah klakah dimana start awal gunung lemongan bisa didaki.
Diperjalanan, kami melihat khafid yang menunggu kami sambil tidur – tiduran di
sebelah jalan. Dia sedikit sewot karena kami berdua terlambat sekitar 1 jam
setengah dari jadwal keberangkatan yang telah aku tentukan. Setelah sedikit
berdebat, kami langsung menuju rumah kepala dusun daerah pendakian yaitu di
daerah gunung puji. Jalanan yang berbatu dan kami yang berat sepertinya membuat
ban sepeda motor arif kempes. Untungnya posisi kempesnya motor arif dan rumah
kepala dusun tidak terlalu jauh. Untuk menghemat waktu, kami pun memparkirkan
motor kami di rumah kepala dusun tersebut.
Dahulu kala, cieeh,
pake dahulu kala, kalo dipikir – pikir jarang juga aku pake kata dahulu kala
dalam menulis blog nih. Yauda deh langsung aja, dahulu kala pada pendakianku
yang pertama kali ke gunung lemongan, orang – orang menitipkan sepedanya di Pos
pertama yang bernama Mbah citro. Sebuah rumah yang dimiliki oleh juru kunci
gunung lemongan. Jalur pendakian awal langsung berada di belakang rumah mbah
Citro. Sehingga para pendaki selalu saja stay dulu di rumah mbah citro sebelum
berangkat atau meninggalkan gunung lemongan. Tetapi setelah pendakian ke 2 dan
ke 3 ku menuju gunung lemongan, ada desas desus banyak sekali motor hilang
ketika dititipkan dim bah citro, sehingga kami pun menitipkan di kepala dusun
dengan alasan lebih aman walau kami harus berjalan lebih jauh menuju mbah citro
yang sebenarnya bisa diakses dengan motor.
Setelah selesai menitipkan
motor, kami langsung bersiap untuk berjalan menuju rumah mbah citro , tetapi
sepertinya kemujuran berpihak pada kami. Sebuah truk yang akan membawa hasil
potong pohon sengon berhenti tepat di depan kami dan menawarkan untuk membawa
kami setengah perjalanan menuju rumah mbah citro. Sedikit menghemat tenaga
memang karena jarak rumah kepala dusun dan rumah mbah citro lumayan jauh.
Apalagi ditambah masing – masing aku dan khafidz yang membawa tas carrier dan
arif yang pemula membawa daypack, kemudian masing – masing dari kami membawa
daypack berisikan 4 botol air berukuran 1,5 liter menjadi sebuah pemanasan yang
sangat panas untuk pendakian kali ini.
Setengah perjalanan
mbah citro sudah kami tempuh, kami pun berjalan menuju rumah mbah citro. Hari
libur seperti ini banyak sekali orang yang menuju rumah mbah citro untuk
sekedar rekreasi sambil melihat gunung lamongan atau mencari tempat berpacaran
yang lumayan romantis bagi kaum muda mudi. Disini, di kaki gunung lamongan,
kehidupan berjalan seperti biasanya. Beberapa pendaki juga terlihat sedang
beristirahat di mbah citro sepertinya lelah setelah mendaki gunung lemongan.
Kami tidak berhenti di mbah citro karena kami harus mengejar waktu. Kami
langsung berangkat menuju sebuah pos yang bernama watu gede atau watu gajah.
Sekitar pukul setengah
11 kami berangkat dari rumah mbah citro. Awalnya pendakian melewati beberapa
kebun. Beberapa petani juga terlihat. Ada juga beberapa orang yang berolahraga
lintas alam. Hari libur seperti ini memang sibuk. Kami mengikuti rambu – rambu
yang terpasang di sepanjang jalur pendakian yang terpasang dan memandu kami
agar tidak tersesat menuju kebun penduduk. Ada sebuah bendera terlihat dari
jauh yang merupakan pos Watu gede. Disana biasanya menjadi tempat istirahat
banyak pendaki sebelum menuju puncak.
Di perjalanan teringat
bahwa kami belum memotong kaleng kami yang akan kami gunakan sebagai kompor
darurat. Jadi kami sempat berhenti dan meminjam sabit pada salah seorang petani
yang sedang mencari rumput. Kami gunakan sabit tersebut untuk memotong kaleng
yang kami bawa. Kemudian kamipun melanjutkan perjalanan menuju watu gede.
Menuju sebuah bendera merah putih yang berkibar di kejauhan. Tepat berkibar di
kaki gunung yang begitu megahnya berdiri.
Perjalanan di awal
saja sudah cukup berat. Jalanan yang berbatu tajam dan berlubang menjadi sebuah
ucapan selamat datang bagi pendaki yang memulai pendakian. Ditambah gunung ini
tidak memiliki sebuah sumber air yang bisa digunakan untuk para pendaki. Jadi
jika ingin mendaki gunung ini, diperlukan banyak sekali persiapan air yang
memadai. 3 kali aku mendaki gunung ini, selalu saja bermasalah dengan air. Dan
kali ini, dengan berbekal pengalaman sebelumnya, persediaan air kami lebih dari
cukup.
Selama perjalanan
menuju watu gede, kami banyak berpapasan dengan pendaki lain. Ada beberapa yang
memakai baju yang bertuliskan SMAN 4 Jember. Kami sempat berbincang dengan
salah seorang anggotanya bahwa mereka dari PA (Pecinta alam) SMAN 4 Jember dan
sedang melaksanakan diklatnya di gunung Lemongan ini. Beberapa diantaranya
memakai sepatu yang telah berlubang atau sobek. Sepertinya rusak usai mendaki
gunung ini. Memang gunung ini dengan medannya yang berbatu tajam sangat merusak
sepatu. Terkadang bahkan selama perjalanan terlihat beberapa robekan sepatu,
sol sepatu yang lepas, atau bahkan sepatu yang ditinggalkan akibat telah rusak.
Akhirnya kami sampai
di Watu Gede setelah satu jam perjalanan dari pos mbah citro. Disana ada
beberapa pendaki yang baru turun sedang beristirahat. Kami bertiga pun istirahat
pula bersama beberapa pendaki lain. Mereka adalah PA dari STKIP Lumajang.
Berada disini semalam kemudian naik pada malam harinya. Berbeda dengan rencana
kami yang akan mendirikan tenda dan bermalam di puncak. Usai arif memakan roti
untuk makan siang dan kami merasa cukup beristirahat, kami pun langsung menuju
puncak.
Watu Gedhe |
Perjalanan dari watu
gede semakin berat sebenarnya. Apalagi dengan kemiringan di beberapa tempat
harus menggunakan tangan atau mencari pegangan yang digunakan untuk mendorong
tubuh kita keatas. Kemiringan dari watu gede pun bertahap. Dari kemiringan
biasa dan berangsur – angsur semakin miring dan sangat menguras tenaga. Apalagi
membawa carrier berisikan tenda dan barang – barang yang lain ditambah 4 botol
air yang kami bawa. Ditambah pula kondisi perjalanan kami yang ditengah terik
matahari. Menjadikan perjalanan semakin berat.
Akhirnya kami sampai
di daerah berpasir gunung lemongan. Disini rasanya seperti mendaki gunung
semeru, atau bahkan lebih sulit. Kondisi kemiringan dan beberapa tempat
terdapat batu. Jika salah berpijak akan terperosot kembali ke bawah. Hal ini
memerlukan banyak sekali energi. Apalagi suhu yang sangat tinggi dan berjalan
di bawah terik matahari. Air yang kami bawa pun dengan cepat habis di daerah
ini.
Langkah demi langkah
kami berjalan. Menahan berat tas yang membebani bahu. Semakin berat apalagi
matahari tepat berada diatas kami. Beberapa kali kami harus berhenti untuk
beristirahat. Tiap kali kami beristirahat, saat itulah air semakin berkurang
dan berkurang. Kemudian kami bertemu dengan pendaki lain yang sedang naik juga.
Seseorang yang sedikit tua dan membawa tas carrier. Hampir sebesar milikku yang
berisikan tenda. Kemudian kami beristirahat bersama dengan orang tersebut. Dia
ternyata bersama dengan 4 orang lainnya yang berada sudah berjalan mendahului
mereka. Mereka ber 5 merupakan rombongan yang berasal dari kota malang dan ini
merupakan pendakian beliau yang pertama kali di gunung lemongan. Kami yang
lebih cepat berjalannya kemudian meninggalkan beliau di belakang kami.
Tak lama kami
berjalan, ada salah satu anggota rombongan orang tadi. Dia sedikit berbeda,
lebih muda dan sedang beristirahat, kami mendahuluinya. Tetapi hal yang aku
perhatikan adalah apa yang dia minum. Dia bukan minum air putih biasa melainkan
minum kopi, padahal dalam ilmu survival serta biologi, kopi banyak mengandung
ADH dan bisa menyebabkan kita mudah kencing + mudah haus. Jika dikorelasikan
pada pendakian seperti gunung lemongan yang kurang air atau bisa dikatakan
tidak tersedia sumber air sama sekali yang bisa digunakan sebagai cadangan air,
kopi adalah hal yang seharusnya sangat dihindari guna menghemat air.
Baca Juga
http://anadventureinmylife.blogspot.com/2014/04/gunung-lemongan-part-1.html
http://anadventureinmylife.blogspot.com/2014/05/gunung-lemongan-part-3.html
http://anadventureinmylife.blogspot.com/2014/05/gunung-lemongan-part-4.html
http://anadventureinmylife.blogspot.com/2014/05/gunung-lemongan-part-5.html
Komentar
Posting Komentar